04 May 2007

Kisah Supir Mikrolet dan Serbuk Maut

Tanah Abang suatu siang menjelang sore. Saya langkahkan sepasang kaki ini yang menopang tubuh kurus saya di antara teriakan para supir angkot dan calo yang tengah 'berburu' penumpang.

Saya hampiri satu mikrolet M-11 jurusan Tanah Abang-Meruya. Selang 10 menit, perlahan-lahan mobil reot itu bergerak, ketika belum ada penumpang selain saya yang duduk di sebelah supir.

Dari kolong jembatan, kami bergerak melewati Stasiun Tanah Abang. Sang supir melajukan kendaraan sembari menengok ke kiri dan kanan, siapa tahu ada penumpang yang mau menggunakan jasanya. Namun, selepas stasiun itu belum ada penumpang yang memenuhi jok belakang.

Tak ada obrolan apapun sampai mobil itu melewati Stasiun Tanah Abang. Lamunan saya terbuyarkan oleh teriakan, atau tepatnya bentakan, sang supir kepada 'petugas' yang menarik 'tips' atas jasanya mengatur lalu lintas di belokan pertama setelah Stasiun menuju Pasar Tanah Abang.

"Tadi gua dah kasi. Masa mau minta lagi lu !!!"

Bentakan itu memecah lamunan saya yang berkelana entah ke mana.

"Ah, tai. Nggak usah nyolot lu !" jawab 'petugas' yang minta 'jatah' dari supir mikrolet itu. 'Petugas' itu kurang lebih sebaya dengan saya, tiga tahun menjelang 30 tahun.

Sang supir akhirnya memulai obrolan dengan saya. "Harus digituin (baca: bentak) mas. Kalo nggak, kurang ajar dia. Kita dikira takut," katanya dengan nada tinggi. Ia mengaku kesal dengan perilaku penarik pungli itu setiap hari. Ia membandingkan beberapa dari 'petugas' itu sudah bisa membeli motor, walau dengan cara menyicil. Sedangkan, ia sendiri masih kesulitan untuk sekadar membiayai hidup istri dan ketiga anaknya.

"Iya, pak..." jawab saya singkat dan lirih.

Obrolan kami pun mengalir. Supir itu -yang hingga saya turun, tak saya tahu siapa namanya- mengaku sudah menjalani banyak profesi. "Semua sudah, mas. Kecuali nyopet dan nggarong," jelasnya dengan mimik serius. Profesi supir mikrolet ini sudah ia jalani sejak sembilan tahun lalu. Ia juga pernah menjadi tukang becak, kuli bangunan dan lainnya di Tangerang.

Ia juga bercerita, bahwa sesekali memang ada polisi lalu-lintas yang menindak para pemuda yang melakukan pungli itu. 'Tapi, kayaknya mereka sudah 'dijatah'. Kalau sudah kehabisan duit, mereka akan razia lagi," katanya.

Kemacetan sore itu, seperti biasa, membuat laju mikrolet itu tersendat dan tersendat lagi. Barangkali ada sekitar satu jam kami hanya berkutat di bilangan Tanah Abang untuk menuju kawasan Slipi yang juga tak kalah ganas kemacetannya. Ya, begitulah Jakarta. Kemacetan adalah menu yang harus kita hadapi tiap hari.

Mikrolet yang ia kendarai itu ia sewa dengan biaya Rp.6O ribu per harinya bersama seorang temannya. "Lebih bebas, mas. Kalau nggak gitu, kita pulang telat dikit saja majikan dah ngomel-ngomel," tambahnya.

Seperti juga pengguna jalan raya di ibukota, ia juga tak kebal dari penyakit macet di jalan-jalan raya. Cacian dan sumpah serapah karena jalannya diserobot sudah menjadi santapan sehari-hari. Ia mengaku sering dimaki-maki pengendara motor karena menurunkan penumpang di pinggir jalan yang padat.

"Selama ini sih, karena cuma gitu-gitu, saya biarin. Kalau berani mukul, baru saya lawan!"

Ia mengaku memiliki senjata rahasia yang ia simpan di bawah jok mobilnya. Menurut ceritanya, itu ia dapat dari hasil berguru di Kebumen, Jawa Tengah. Bentuknya adalah serbuk, yang kalau mengenai mata manusia akan mengalami kebutaan total. "Nggak bakal bisa sembuh, mas. Cuma saya yang bisa ngobatin," jelasnya.

Saya langsung berpikir, ternyata begini cara kaum marginal mempertahankan hidupnya di kota metropolitan. Menurut saya, itu jauh lebih baik daripada menjadi penjahat. Ia menyiapkan itu semata untuk self defence, bukan yang lain. Kondisi ekonomi yang morat-marit di kalangan bawah memang kerap 'mengizinkan' orang berbuat seenaknya untuk mendapatkan sesuap nasi. Ia masih bisa berpikir waras, dengan tidak mau menjadi copet atau pencuri. Sesuatu yang patut saya acungi dua jempol.

Selepas Pasar Tanah Abang, saya lanjutkan lagi lamunan yang tersela tadi. Tak ada obrolan apapun karena saya pun tenggelam memikirkan apa yang sudah diceritakan supir mikrolet itu. Hingga akhirnya saya tiba di kantor redaksi Majalah HIDUP.

Ah, ternyata... apa yang sering saya klaim sebagai perjuangan tidak seberapa dengan apa yang 'diperjuangkan' oleh pak supir itu. Terkadang, saya masih mengeluhkan apa yang sudah saya dapat. Sementara, sang supir itu harus bertarung di hiruk-pikuk kemacetan Jakarta untuk menghidupi istri dan ketiga anaknya. Hari ini, 28 Maret 2007, saya mendapat satu pelajaran: hidup adalah perjuangan. Terima kasih, pak supir... Semoga para penguasa di negeri ini bisa berbuat sesuatu untukmu, untuk kita semua, rakyatnya !!!

3 comments:

Any R said...

hmmm, dua hari lalu, tepatnya di kawasan pasar senen, saya lihat beberapa lelaki yang kira-kira sebaya dengan pak supir bergerombol di sekitar penjual cincin batu akik. mereka tampak sedang melihat-lihat batu akik. selintas saya berpikir? hmmm...di kota ini, Jakarta, batu akik berkelas pinggiran masih ada dan laku. kemudian saya bertanya, "untuk apa orang2 membelinya?" hmmm....mungkin untuk jimat atau penangkal bahaya. seperti pak supir dengan serbuknya. hmmmm.....

Tyas AN said...

Kerasnya kehidupan ibukota menjadikan konsep magis sesuatu yang menggiurkan....

Tyas AN said...

Kerasnya kehidupan ibukota menjadikan konsep magis sesuatu yang menggiurkan....

Fransiskus Pascaries