04 May 2007

Jakarta-Dili-Baucau, Perjalanan Nan Menegangkan


Baru sekitar tiga bulan saya memasuki bangku kelas tiga di SD St.Fransiskus III, Kampung Ambon, Jakarta Timur. Tetapi, kepindahan bapak saya dari Jakarta ke Dili 'menyeret' saya untuk beranjak dari Jakarta, yang penuh dengan hingar-bingar dan hiruk pikuk metropolis, ke Timor-Timur yang pada waktu itu (Oktober 1988) masih merupakan provinsi ke-27 di Indonesia, dan belum seramai ketika saya tinggalkan tahun 1998 untuk mengecap bangku kuliah di Purwokerto.


Hari itu, 2 Oktober 1988, sekitar pukul 10 pagi, dengan pesawat Garuda Indonesia yang berbadan lebar, kami melintasi samudera dan transit di Denpasar untuk lalu meneruskan penerbangan ke Dili. Sayang, di Denpasar kami harus berganti pesawat yang berbadan lebih langsing, sehingga kenyamanan selama perjalanan Jakarta-Denpasar terasa lenyap.


Sebenarnya tubuh saya sedang tidak sehat. Sekitar dua hari saya harus istirahat di rumah Bude saya di bilangan Halim Perdanakusumah, dan tidak hadir dalam acara perpisahan dan doa lingkungan di rumah saya yang terletak di Jalan Pemuda IV No.15 Rawamangun, Jakarta Timur. Rumah kontrakan kami terasa menjadi semakin sempit kala itu. Bagaimana tidak, ada sekitar 30 orang yang biasa aktif di lingkungan Gereja harus duduk lesehan dan di luar. Hal itu bukan tanpa alasan. Bapak saya dikenal aktif dalam persekutuan doa di lingkungan bahkan juga di Paroki St.Bonaventura Pulomas, yang lalu dimekarkan ke Paroki Keluarga Kudus Rawamangun.


Kami pun bertolak dari Rawamangun ke Bandara Soekarno Hatta di Cengkareng. Beberapa mobil dari kerabat dan sanak-saudara turut melepas kepergian kami. Saya yang kala itu baru berumur delapan tahun belum bisa membantu mengangkat tas berukuran besar. Apalagi adik saya yang juga masih kecil: Sisca (7 tahun), Maria (5), Yuli (3) dan Arief (7 bulan). Beruntung, kru maskapai Garuda Indonesian Airways dengan ramahnya memberikan pelayanan.


Diumumkan bahwa sebelum tiba di Bandara Comoro di Dili, kami akan singgah di Bandara Ngurah Rai. Selama penerbangan Jakarta-Denpasar, selalu ada saja pengalaman-pengalaman kocak yang hingga kini masih saja lekat menempel di otak saya.


Kalau di pesawat Garuda yang luas itu kami bisa berlari ke sana-ke sini, sementara di pesawat Merpati yang membawa kami dari Denpasar ke Dili kami hanya bisa duduk. Selain karena kursi penumpang telah terisi penuh, kabin pesawat yang ‘kurus’ tidak memungkinkan kami untuk ‘adu lari’. Kalau Tukul sudah beken dengan Empat Mata, dia pasti akan bilang: "Ndeso....ndeso...ndeso, katro !!!” Sekitar satu atau dua jam selepas Denpasar, kami tiba di Bandara Comoro di Dili. Udara terasa panas menyengat ketika kami berada di ruang tunggu kedatangan sambil menunggu bagasi. Kerabat dekat bapak saya di Kanwil Departemen Agama Dili Pakde Bandi –begitu kami biasa memanggilnya– menjemput kami. Sekitar tiga hari kami menetap di perumahan dinasnya di daerah Pantai Kelapa, Dili.


Setelah Bapak saya mengurus administrasi ini dan itu, kami beranjak dari Dili ke sebuah kota yang terletak sekitar 130 km arat timur kota Dili, Baucau. Kota ini disebut-sebut sebagai kota kedua terpenting setelah Dili. Kalau di masa setelah tahun 1990-an, perjalanan menggunakan bis Dili-Baucau dan sebaliknya bisa ditempuh 4-5 jam, jangan harap bisa menempuh jarak yang sama dalam waktu kurang dari itu di tahun 1980-an.


Kenapa bisa lama? Itu tak lain karena setiap bis harus menjalani pemeriksaan di banyak titik. Saya tak ingat persisnya berapa kali bis kami diberhentikan oleh personil militer untuk diperiksa dokumen perjalanannya. Semua penumpang diperintahkan turun dari bis dan menunjukkan surat jalan dari lurah (barangkali) beserta KTP atau identitas lain. Mereka yang tidak bisa menunjukkan dokumen yang sah, atau minimal KTP, pasti akan langsung 'diamankan'. Tidak jarang, ada di antara mereka yang harus menerima bogem mentah karena tidak bisa menunjukkan surat jalan dan atau KTP. Suasana keamanan di Timor Leste pada waktu itu masih cukup rawan karena masih ada gerombolan bersenjata Fretilin yang sesekali turun dari daerah pegunungan. Sedikit banyak hal itu membuat kami sekeluarga turut diliputi ketegangan. Belum lagi ditambah cerita-cerita dari kerabat Bapak saya yang sudah lebih dulu menetap di sana.


Bis di Timor Leste kala itu (entah sekarang) tidak ada satu pun yang menggunakan air conditioned. Rasa panas, letih dan stres tak bisa disembunyikan dari wajah kami. Suasana tegang seakan jadi langganan selama kira-kira tujuh jam perjalanan. Bayangkan, jalan beraspal yang ada hanya muat untuk dua lajur kendaraan. Kami pun harus berpacu jantung, karena terkadang jika longsor menghadang, ada saja kendaraan yang terperosok ke jurang. Atau dalam kasus lain, ada batu yang 'terjun bebas' dari atas tebing curam.


Di Kabupaten Manatuto yang berjarak sekitar 60 kami arah timur kota Dili bis kami berhenti untuk beristirahat. Kami benar-benar memanfaatkan waktu untuk menarik napas. Makan siang yang kami persiapkan ludes dalam waktu singkat. Sekitar setengah jam, bis kami pun melanjutkan perjalanan paruh kedua ke Baucau. Perjalanan dramatik dan menegangkan, serta tentu saja, bersejarah buat saya.

1 comment:

Unknown said...

Mas Brow..Terima kasih berbagi kisah di Timor Leste.

Jka ada waktu silakan berkunung ke Timor lagi di Jamin Aman kok..

ada waktu visit blog saya yaa
http://hatutan.blogspot.com
tulisan saya lebih mengupas masalah ekonomi sosial di TL

Fransiskus Pascaries