30 December 2009

Tahun 2009 Tahun Perlawanan. Tahun 2010?

Beberapa bulan belakangan ini, perhatian bapak dan ibu saya tersedot ke sekurangnya dua kasus: kriminalisasi dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi -Bibit S Rianto dan Chandra Hamzah- serta perseteruan antara Prita Mulyasari dan RS Omni International, Tangerang. Mereka selalu geram, setiap kali mendengar dan melihat melalui situs berita atau televisi, pemberitaan demi pemberitaan seputar dua kasus ini. Di masa pensiunnya, bapak selalu mengisi waktunya untuk memantau situs-situs berita dan televisi untuk mengikuti perkembangan kasus ini, jam demi jam. Sementara ibu saya kerap beranjak dari dapur dan meracik bumbu dapur di depan televisi di ruang tengah, saking tak ingin melewatkan momen-momen terkuaknya kebobrokan aparat hukum di negeri ini. Diputarnya rekaman bukti 'perselingkuhan' antara Anggodo-Anggoro dengan para penegak hukum, dalam persidangan uji materil di Mahkamah Konstitusi menjadi menu yang tak ingin mereka lewatkan.

Betapa tidak, dua kasus ini suatu tontonan yang (cukup) langka di republik ini. Buntutnya, masyarakat secara terang-terangan menunjukkan ketidakpercayaan mereka pada lembaga-lembaga peradilan. Sepertinya, tidak ada satupun penghalang yang mengurungkan niat masyarakat untuk menyuarakan rasa muak, jenuh, amarah pada aparat penegak hukum, yang ironisnya justru tidak pernah membuat hukum berdiri tegak. Tak berlebihan tentu, apa yang disampaikan Soetandyo Wignyosoebroto , bahwa “kepada yang lemah, hukum berlaku sangat keras. Sedangkan kepada yang kuat, hukum menjadi sangat lembek.”

Masyarakat dari beragam strata sosial di republik ini seperti sudah satu suara, bahwa ketidakadilan di republik ini sudah mencapai titik yang sangat mengkhawatirkan. Tidak hanya kalangan terdidik seperti mahasiswa dan aktivis LSM, sudah amat paham bahwa perlawanan harus dilakukan, dengan cara apapun yang mungkin, sejauh tidak destruktif.

Penyair Adhie M Massardi dalam sajak bertajuk Negeri Para Bedebah meyakini, ada bermacam cara untuk melawan. Katanya dalam sajak itu, “Maka bila negerimu dikuasai para bedebah, Usirlah mereka dengan revolusi Bila tak mampu dengan revolusi, Dengan demonstrasi Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi .” Dan para tukang becak, pemulung, dan kalangan akar rumput lain, melakukan perlawanan dengan cara mereka masing-masing. Mereka mengumpulkan koin untuk Prita Mulyasari. Mereka melakukan itu dengan motif “senasib sepenanggungan”. Kalau di masa kampanye pemilu mereka umumnya menjadi sasaran 'serangan fajar' para politisi, tapi kali ini dengan penuh kesadaran mereka justru mengumpulkan koin demi koin yang biasa mereka belikan sandang-pangan-papan untuk Prita.

Seorang pemulung bernama Mundala (65) bahkan mengumpulkan uang receh, yang ia kumpulkan bersama rekan-rekannya di komunitas pemulung Srengseng Sawah, Jakarta. Dengan penuh kesadaran ia berkata, "“Orang pakai e-mail, kenapa mesti dicecar? Tapi kalau kasus Century, enak-enak saja,” ujarnya. Kasus Century yang awalnya hanya masuk ke alam sadar kalangan elit (intelektual - pebisnis), ternyata sudah sedemikian melekat di benak rakyat jelata seperti Mundala. Meski tak mengenal Prita secara langsung, Mundala mengaku, ia mewakili rekan-rekannya menyumbang karena panggilan hati. Sebagai sesama orang kecil, mereka melihat kurangnya keadilan bagi masyarakat kecil.

Chico Mendes
Kisah perlawanan rakyat jelata melawan rezim lalim ini bukan hanya ada di Indonesia. Akhir tahun 1988, petani karet di Brasil melakukan perlawanan yang begitu solid melawan rezim diktatorial, meski untuk itu nyawa seorang Chico Mendes harus menjadi tumbal. Ia harus meregang nyawa, karena menjadi motor gerakan perlawanan para petani karet di hutan Amazon. Beberapa hari sebelum ia tewas di ujung bedil, ia melontarkan satu perkataan yang dikenang banyak orang hingga kini: ”Awalnya saya kira perjuangan saya hanya untuk menyelamatkan pohon karet. Kemudian saya mengira saya berjuang untuk menyelamatkan hutan hujan Amazon. Kini, saya sadar saya berjuang bagi kemanusiaan.”

Sementara dari negerinya pesebakbola Lionel Messi, Argentina, kita bisa melihat bagaimana para perempuan yang mayoritas adalah ibu rumah tangga melakukan perlawanan tanpa henti terhadap rezim militer, yang menghilangkan 30 ribu sanak saudara mereka. Mereka dihilangkan karena dituduh subversif, dan berhaluan kiri.

Sejak April tahun 1977 sekali dalam sepekan mereka (para ibu itu dimulai dengan 14 perempuan, 13 orang di antara mereka adalah ibu) berkumpul di Plaza de Mayo -yang terletak berhadap-hadapan dengan Istana Presiden Casa Rosada- untuk menuntut penuntasan kasus penghilangan paksa itu. Dan setelah bertahun-tahun berjuang, akhirnya Presiden Raul Alfonsin, yang dipilih secara demokratis setelah junta militer berakhir, membentuk Komisi Nasional untuk Orang-orang yang Dihilangkan, sepanjang junta militer di bawah Presiden Jenderal Jorge Rafael Videla Redondo tujuh tahun berkuasa. Selama tujuh tahun itu, tak kurang sembilan ribu orang dihilangkan. Di laporan yang sama dikatakan, pada masa presiden sebelumnya, Isabel Peron, 600 orang hilang dan 458 orang dibunuh.

Gerakan ini pula yang mengilhami Gerakan Kamisan yang rutin melakukan aksi bisu di depan Istana Negara setiap hari Kamis. Akankah rutinitas ini akan berujung pada dibukanya kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia, tentu kita harus menunggu, entah sampai kapan.

Masyarakat sepertinya juga sudah bisa memilah, isu mana yang sudah layak dan sepantasnya mereka perjuangkan kebenarannya, dan kasus mana yang hanya mencari-cari sensasi. Ingat kasus Manohara? Lihatlah, ada berapa pasang mata di republik ini yang memperhatikan kasus yang melibatkan putra mahkota Kerajaan Kelantan, Malaysia itu? Bandingkan dengan kasus kriminalisasi Bibit-Candra, apalagi Prita Mulyasari. Meski tidak bisa disangkal, media menjadi faktor penting dalam dua kasus ini, kesadaran masyarakat lintas strata untuk melawan dengan berbagai cara (dukungan via FaceBook, pengumpulan koin, ikut unjuk rasa, dsb) sungguh terasa sebagai manifestasi perlawanan yang membanggakan. Mereka yang tidak bisa keluar dari kantor untuk
berunjukrasa, bisa memberi dukungan via FaceBook.

Sebagai bangsa, kita sudah mengalami episode-episode hitam yang berlumuran darah. Sebut saja kekerasan 1965-1966, tragedi Tanjung Priok, kekerasan sebelum dan sesudah Soeharto terguling dari puncak kekuasaan, dan sejumlah tragedi berdarah lainnya. Penguasa kerap menggunakan praktik-praktik yang 'itu-itu saja': penyusupan, adu domba, hasut-menghasut, pengalihan isu publik, dsb. Tapi, gerakan mendukung Prita dan melawan kriminalisasi pimpinan KPK, memperlihatkan masyarakat bergerak atas kesadaran senasib-sepenanggungan. Sejumlah penelitian menunjukkan, bahwa aksi kekerasan sepanjang 1965-1966 yang dilakukan masyarakat pada sesamanya, tak mungkin terjadi tanpa adanya sponsor, pengkondisian, atau bahkan intimidasi dari rezim yang lalim.

Patut kita tunggu, seperti apa 'metode' perlawanan yang akan ditunjukkan masyarakat Indonesia pada rezim otoriter yang berwajah (sok) manis ini di tahun 2010. Kalangan terdidik di negeri ini memang bukan mayoritas. Dalam gerakan sosial mereka 'hanya' pemrakarsa, bukan satu-satunya penentu. Namun, ketika ada semakin banyak orang seperti Mundala di negeri ini, kita layak berharap bahwa kesewenang-wenangan para penguasa bisa kita hadapi. Bukan dengan senjata. Bukan dengan batu. Bukan kekerasan. Tapi dengan cara-cara yang lebih beradab.

Ibarat paduan suara, saya yakin tulisan saya ini hanya satu suara di antara jutaan suara lain, di nada dasar yang sama. Nada dasar yang menyanyikan sebuah lagu melawan ketidakadilan, melawan kelaliman, yang dilakukan justru oleh para penyelenggara negara, yang beberapa bulan silam mendapat mandat lewat pemilu. Namun, justru di situlah pentingnya. Artinya, kesadaran akan ketidakadilan sudah merasuk ke dalam diri kita masing-masing.

Akankah perlawanan ini berlanjut di tahun 2010?

antara Cibitung dan Cikarang, di ujung tahun 2009

23 December 2009

Sang Sopir Merayakan Natal

Namanya Muis. Usianya 29 tahun.Tubuhnya kurus. Pria asli betawi ini kebingungan, lantaran tak kunjung mendapatkan biaya untuk pulang kampung halaman sang istri di tanah Batak sana. Sehari-hari ia bekerja sebagai sopir untuk sebuah perusahaan minuman asal Peru, yang tengah merintis bisnis di Indonesia, dengan membuka pabrik di kawasan Lippo Cikarang. Gaji sebesar Rp.1,5 juta yang ia terima setiap bulan, selalu tak cukup untuk menghidupi istri dan seorang anaknya yang berusia dua tahun. Sejak sebulan sebelum natal, ia mengaku kebingungan, karena belum mendapat biaya untuk pulang ke kampung istrinya di bumi Andalas. Ia berencana untuk menyewa mobil bersama istri dan dua keluarga lain dari istrinya, untuk mudik.



Sehari-hari, Muis bertugas untuk mengantarkan sang Presiden Direktur asal Peru, yang ditemani seorang penerjemah bahasa Spanyol, untuk menemui relasi bisnis, konsultan bisnis di kawasan Rasuna Said Kuningan, pengelola kawasan industri di Cikarang, mengantar-jemput tamu yang datang dari luar negeri di bandara Soekarno-Hatta, dan sebagainya. Setiap pagi, dari rumahnya tak jauh dari kawasan industri Lippo Cikarang, ia biasanya berjalan kaki selama sekitar 45-60 menit menuju perumahan Meadow Green, tak jauh dari Mal Lippo Cikarang, untuk menjemput sang bos. Biasanya ia tiba di rumah sang bos sekitar pukul delapan pagi, dan menggedor-gedor pintu sang majikan, yang kemudian membukakan pintu dalam kondisi terkantuk-kantuk. Jika amat lelah di malam sebelumnya, terkadang setelah setengah jam menggedor-gedor, barulah pintu rumah itu dibuka. Muis pun kemudian memanaskan mesin mobil, bila perlu mencucinya. Keduanya lebih kerap berbahasa 'tarzan' alias isyarat, karena sang bos tak mahir berbahasa Inggris, apalagi bahasa Indonesia, sementara Muis yang pernah bekerja sebagai sopir bis antar kota Sinar Jaya ini hanya bisa berbahasa Indonesia.

Kepada si penerjemah Muis pernah meminta masukan, bagaimana caranya bisa mendapatkan pinjaman uang sebesar tiga hingga empat juta rupiah. Ia mengaku mengenal seorang rentenir yang bisa meminjamkannya uang, namun bunganya sungguh mencekik leher: 50 persen! Hati sang penerjemah merasa trenyuh, tapi tak bisa berbuat banyak, kecuali mengatakan, “Jangan ke rentenir deh. Setengah mati lu mbayarnya nanti.”

Namun akhirnya kebingungan Muis berakhir. Awal Desember ini seorang manajer di kantornya berbaik hati. Muis berhasil mendapatkan pinjaman tanpa bunga sebesar Rp.3 juta. Mereka sepakat, pengembalian akan dilakukan mulai bulan Januari, di mana Muis akan mencicil sebanyak empat kali, masing-masing sebesar Rp. 750 ribu. Muis amat bersyukur, karena kebaikan hati sang manajer itu. Pekan lalu Muis berangkat ke Tanah Batak, untuk menemui keluarga besar istrinya, karena praktis tak ada yang bisa dikerjakannya di kantor, karena si bos juga tengah menghabiskan libur natalnya di Peru.

Muis juga sudah berusaha 'melobi' seorang pemilik usaha rental mobil di Lippo Cikarang, yang juga menyewakan mobil yang biasa Muis kendarai tiap hari. Tujuannya agar ia bisa mendapat harga 'damai' alias lebih murah. Alhasil, tarif Rp. 5 juta per 30 hari harus ia tanggung bersama dua keluarga lain dari pihak istrinya. Dari jumlah itu, Muis 'hanya' membayar Rp.1 juta rupiah. Namun di luar biaya itu, ia juga harus memikirkan biaya makan selama perjalanan, dan juga meninggalkan sedikit uang untuk beberapa keponakannya di sana.

Kepada si penerjemah Muis mengaku, sebenarnya ia tak ingin memaksakan pulang ke kampung halaman istrinya di tanah Batak kalau tak ada dana segar. Ia hanya tak tahan dengan sikap istrinya yang kerap mengeluh dan marah, ketika Muis membahas kemungkinan bahwa mereka tak bisa pulang kampung, karena ketiadaan biaya. Ia juga khawatir, ia akan dijauhi oleh keluarga istrinya karena tak bisa pulang kampung di masa natal ini. Ia mengaku tak bisa berbuat banyak, selain berusaha mencari pinjaman ke sana ke mari, untuk memenuhi keinginan sang istri dan tetap menjaga ikatan keluarga dengan keluarga besar di Sumatera. Seringkali, rasa penat dan tertekan atas sikap istrinya itu terbawa-bawa ke pekerjaannya. Ia kerap memaki sopir angkot yang berhenti seenaknya di tikungan tanpa memberi lampu sen. Kalau sudah begitu, pasti sang penerjemah akan membentaknya sambil berkata, ”“Hey, gue tau lu ada masalah di rumah. Tapi gak gini caranya! Kalau mobil kenapa-napa, lu juga yang repot ntar!”

Sekarang, ia tengah bersenang-senang bersama keluarganya di sana, sambil membayangkan bahwa ia harus mulai mencicil pembayaran pinjaman uangnya di bulan Januari 2010. “Sekarang gue seneng dapet pinjeman duit, tapi Januari ntar baru puyeng gue,” katanya sambil tersenyum kecut, setelah mendapat pinjaman tanpa bunga itu.

Beginilah cara Muis merayakan natal. Pasti masih banyak orang seperti Muis yang harus menguras kantong, bahkan mencari pinjaman uang ke sana ke mari, untuk pulang kampung, baik di masa natal ataupun di masa idul fitri. Bagaimana Anda merayakan natal tahun ini? Bagaimanapun, marilah kita bersyukur.

Salam Damai Natal....

10 November 2009

d’Masiv dan Seorang Pahlawan Bernama Tan Malaka

Hari Pahlawan. Hari ini kita kembali mengenang jasa-jasa para pahlawan kita. Di antara sekian banyak nama pahlawan, sosok satu ini sungguh malang. Meski sudah dianugerahi gelar pahlawan kemerdekaan nasional oleh Presiden Soekarno sejak 28 Maret 1963, penghargaan padanya terbilang sangat minim. Jangankan memiliki ‘rumah’ di Taman Makam Pahlawan. Keberadaan makamnya di Desa Selopanggung pun belum bisa dipastikan, meski beberapa pekan lalu pembongkaran makamnya sudah digelar. Selama puluhan tahun, namanya tersingkir dari buku-buku sejarah. Begitu banyak generasi muda (juga generasi tua?) yang tak mengenal nama ini. Tetapi, tak bisa dipungkiri, ia, Ibrahim Datuk Tan Malaka, tetaplah pahlawan, dengan atau tanpa Keputusan Presiden.

Majalah Tempo Edisi Khusus Hari Kemerdekaan tahun 2008 itu akhirnya bisa berada dalam genggaman sekitar dua bulan lalu. Saya sempat memburunya ke sejumlah tempat, tapi nihil. Perburuan itu berakhir, ketika akhirnya seorang teman, yang tahu saya pernah memburu majalah itu, dan gagal, berbaik hati untuk membelikan majalah itu di penjual majalah bekas di salah satu sudut Jakarta. Satu nama yang menjadi alasan saya untuk mendapatkan majalah itu: Tan Malaka! Bukan yang lain!

Kenapa “Che” ?
Sosok Tan Malaka, yang di bulan Oktober 1932 pernah menaklukkan dua polisi Hongkong yang akan menangkapnya di Kowloon dengan jurus-jurus Kungfu, mulai memadati ruang otak saya beberapa tahun belakangan ini. Nama itu sepertinya pernah singgah barang sejenak dua jenak di otak saya ketika SMA, meski hanya sepintas lalu. Tan Malaka, yang total sudah menjelajah di 11 negara di dua benua (setara dengan dua kali keliling bumi). Jarak 89 ribu kilometer yang ditempuhnya itu dua kali lebih jauh dibandingkan jarak yang ditempuh superhero Amerika Latin, Ernesto “Che” Guevarra. Tapi, sepertinya lebih banyak dari kita yang mengenakan baju bergambar “Che”, daripada baju bergambar Tan. Meski belum tentu orang yang mengenakan baju dengan gambar pria gondrong bernama “Che” itu paham siapa sebenarnya "Che".

Tan mulai menjadi ‘prioritas’ ketika saya berkenalan dengan mantan petinggi Kompas, Pak Swantoro, yang pertama kali saya temui pada 13 Mei 2007 untuk keperluan wawancara Majalah Hidup. Pak Swan akhirnya tak bersedia saya wawancara karena ini dan itu. Tetapi satu yang membuat saya senang, ia bersedia melayani saya untuk berbincang ngalor-ngidul tentang banyak topik selama tak kurang dari tiga jam di ruang baca, yang berada di lantai dua rumahnya di Kompleks PWI, Cipinang, Jakarta Timur. Sepulang dari pertemuan pertama itu saya mendapat hadiah dari Pak Swan: buku berjudul Dari Buku ke Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu dan dua buku lain. Di buku itulah saya mulai berkenalan dengan sosok Tan Malaka. Terima kasih untuk Pak Swan, karena sudah memberi saya jalan untuk mengenal orang yang sudah bertahun-tahun ditepikan dari panggung sejarah republik ini. Padahal, Muhammad Yamin menjulukinya sebagai Bapak Republik Indonesia, sedangkan Presiden Soekarno menyebutnya sebagai “seorang yang mahir dalam revolusi.”

Tapi, ironisnya, seperti diteliti dan dicatat oleh sejarawan Harry A Poeze, hidup Tan Malaka harus berakhir di ujung bedil serdadu republik yang sangat ia cintai, Republik Indonesia. Menurut Poeze, Tan meregang nyawa setelah peluru menembus raganya di Dusun Selopanggung, Semen, Kediri, 21 Februari 1949. Tan ditembak atas perintah Letda Soekotjo dari Batalion Sikatan bagian Divisi IV Jawa Timur. Soekotjo ini mengakhiri karir militernya dengan pangkat jenderal bintang satu, dan pernah beberapa tahun menjadi Wali Kota Surabaya. Peluru itu mengakhiri hidup Tan, orang pertama (bukan Soekarno, bukan Hatta, bukan Syahrir) yang mengusung ide republik, dalam bukunya Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) tahun 1924.

Inspirasi untuk Indonesia Raya
Kita hampir selalu menyebut Soekarno, Mohammad Hatta, dan sejumlah tokoh lain saat membahas sejarah Indonesia, terutama dalam kaitannya dengan perjuangan merebut kemerdekaan dari imperialisme asing. Selama puluhan tahun nama Tan Malaka tak pernah mengisi lembaran buku-buku sejarah perjuangan bangsa merebut kemerdekaan. Di era Soeharto, murid SD hingga mahasiswa di perguruan tinggi selalu dijauhkan dari tokoh ini. Di era pasca-ordebaru pun, belum banyak buku pelajaran di sekolah (dan perguruan tinggi?) yang memberi tempat pada nama Tan Malaka. Meski kita juga tak bisa menutup mata, bahwa di era keterbukaan informasi ini, buku-buku, majalah, dan kajian mengenai Tan Malaka bisa jauh lebih mudah kita dapatkan.

Sungguh ironis. Seorang yang tercatat menjadi pelopor ide Republik Indonesia ini justru tersapu dari panggung sejarah bangsa yang begitu ia cintai. Padahal, buku Naar de Republiek dan juga Massa Act (1926) menjadi ‘bensin ideologis’ bagi Soekarno dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia. Saat memimpin Klub Debat di Bandung semasa mahasiswa, Soekarno menjadikan Massa Actie sebagai sumber inspirasi. Dan, yang juga perlu dicatat, salah satu tuduhan yang memberatkan Soekarno saat harus diadili di Landraat Bandung tahun 1931 adalah: menyimpan buku terlarang berjudul Massa Actie ! Buku ini akhirnya juga turut mengilhami pledoi Soekarno yang kondang itu, Indonesia Menggugat.

Tak hanya Soekarno. Saat menciptakan lagu Indonesia Raya WR Supratman juga ‘dirasuki’ spirit Massa Actie goresan tangan Tan Malaka itu. Ke dalam syair lagu itu ia memasukkan kalimat “Indonesia tanah tumpah darahku” setelah membaca bab terakhir dari Massa Actie, yang bertajuk “Khayal Seorang Revolusioner.” Di situ Tan Malaka menulis, “Di muka barisan laskar, itulah tempatmu berdiri… Kewajiban seorang yang tahu kewajiban putra tumpah darahnya.”

Saya ingin sedikit berandai-andai. Meski saya sadar, mungkin saya juga bisa dicap lebay alias berlebihan. Apa yang ada di pikiran Tan Malaka ‘di sana’ sekarang? Ya, sekarang. Saat bangsa ini tak kunjung merdeka 100 persen. Mungkin ia akan bersedih dan murka. Barangkali, ia akan menggalang massa (seperti yang pernah ia lakukan saat menggalang massa dalam rapat besar di Lapangan Ikada, dua hari setelah proklamasi 1945) untuk melakukan perlawanan. Yang pasti, ia akan marah, sangat marah bahkan, karena melihat betapa republik yang ia cintai ini dengan begitu mudahnya dikangkangi oleh kepentingan imperialis asing. Bahkan, sejumlah petinggi di sini seperti ‘mempersilahkan’ kekuatan imperialis itu masuk, agar mereka ikut ‘kecipratan’ rezeki. Hasilnya, kekayaan alam kita banyak dikeruk. Melambungnya harga minyak dunia, misalnya, justru tak pernah dinikmati manfaatnya oleh sebanyak-banyaknya kalangan masyarakat. Hanya mudaratnya saja yang hadir di sini. Sejak Presiden Soekarno disingkirkan oleh kekuatan barat, di saat itulah Indonesia menjadi negeri yang siap sedia ‘menjamu para penjarah’.

Tan, yang oleh mantan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono dinilai sebagai satu-satunya pimpinan teladan yang benar-benar konsekuen di Indonesia, juga pasti marah seandainya melihat sendiri bagaimana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dikeroyok ‘buaya’ dan ‘godzilla’. Dulu Tan dan pejuang lain melawan imperialisme asing (yang menggunakan kekuatan dalam negeri untuk membunuh Tan), tapi kini imperialisme dilakukan oleh orang-orang Indonesia sendiri yang disponsori pihak asing. Kemerdekaan seratus persen yang dulu ia teriakkan bersama Jenderal Soedirman sampai kini belum juga mewujud. Bahkan, kemunduran demi kemunduran semakin terlihat jelas: korupsi merajalela, aparat hukum ‘berselingkuh’ dengan para cukong dan kriminal yang berperkara, dan sejumlah contoh lain.

Tan pun, dalam mewujudkan sikap Merdeka 100%, pernah bersitegang dengan Soekarno selaku presiden, yang hanya berbasa-basi menolak Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Desember 1949. Belanda tahu benar bahwa Soekarno hanya berpura-pura, karena faktanya utang Hindia Belanda sebesar 4,3 miliar gulden yang dibebankan kepada RIS tetap dipatuhi oleh Republik. Itulah sebabnya, baru pada 17 Agustus 2005 ada perwakilan Belanda yang turut hadir dalam peringatan kemerdekaan RI di Istana Negara. Terang saja, karena utang Hindia Belanda sudah lunas dibayar.
Bagian refrain dari lagu d’Masiv berjudul Diam Tanpa Kata bisa menjadi cermin dari apa yang ada di benak Tan Malaka lebih dari sepuluh windu lalu. Simak saja,
Kau takkan pernah sadari / betapa ku mencintaimu / kau yang selalu aku banggakan // Kau takkan pernah mengerti / betapaku menyayangimu/ kau yang selalu aku inginkan //

Selama ini, kita mungkin tak pernah menyadari, betapa Tan mencintai Indonesia. Indonesia yang selalu ia banggakan. Betapa ia ingin agar negeri ini Merdeka 100 persen!
Atau, jangan-jangan d’Masiv terinspirasi oleh Tan Malaka saat menciptakan lagu Diam Tanpa Kata. Ah, lebay deh...

Sumber bacaan:
1) Majalah TEMPO Edisi Khusus Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2008
2) P. Swantoro, Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu (Jakarta, Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) bekerjasama dengan Rumah Budaya TEMBI, 2002)
3) Harry A. Poeze, Memuliakan, Mengutuk, dan Mengangkat Kembali Pahlawan Nasional: Kasus Tan Malaka, dalam Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (editor), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia-KITLV-Pustaka Larasan, 2008)

26 October 2009

Belajar di Lokalisasi

Surabaya malam Natal tahun 2004. Tiba-tiba, telepon berdering di rumah Theresia Mike Verawati Tangka. Di ujung telepon terdengar suara seorang perempuan. Perempuan di ujung telepon itu berkata, “Mbak Mike, saya sudah melihat gereja, tapi tidak masuk. Doain ya mbak, supaya nggak hanya sampai di depan gereja, tapi bisa masuk, seperti yang dibilang Mbak Mike.” Mike lantas menjawab, “Kamu di mana? Kalau kamu di gereja malam ini, saya temenin. Kalau pun sudah nggak ada misa, saya temenin kamu sampai masuk.” Tapi, perempuan di ujung telepon itu hanya tertawa dan berkata, “Nanti deh, Mbak. Kapan-kapan saya ceritakan lagi. Ini sudah malam...” Telepon pun terputus.


Perempuan yang menelpon Mike itu seorang pedila, alias perempuan yang dilacurkan. Kepada Mike, pedila yang seorang Katolik itu menceritakan keengganannya beribadat di gereja. “Orang seperti saya apa pantas masuk ke gereja?” ujar Mike menirukannya. Perempuan itu mengaku, menjadi pedila setelah dijual suaminya.
Dengan suara bergetar, Mike yang kini aktif di Divisi Advokasi Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) menceritakan kisah ini. Mungkin kita cukup asing dengan istilah ‘pedila’. Istilah itu ia gunakan, untuk tak menyebut mereka dengan ‘pekerja seks komersil’ atau PSK. “Karena, tak ada seorang pun yang rela menjual tubuhnya,” tegas Mike.

Rasa takut
Begitulah Mike. Dunia pedila seolah sudah digariskan menjadi bagian dari hidupnya. Keterlibatan Mike di pendampingan kaum marjinal perempuan, seperti pedila, bermula di tahun 1997. Saat itu, ia mengikuti pelatihan analisis sosial yang diadakan Forum Studi Ansos (FORSAS) di kampusnya, Universitas Surabaya, Jawa Timur.
Awalnya, Mike ditugaskan melakukan pengamatan di Pasar Wonokromo, dan Pasar Keputran, Surabaya. Ia harus tinggal di pasar agar bisa mengamati keseharian para pedagang. Semula, ia dijadwalkan menjalani masa live-in selama satu bulan. Di luar dugaan, salah satu trainer dalam pelatihan, Yanuar Nugroho, memintanya mengobservasi lokalisasi di Wonokromo.

Belum genap sebulan, Mike dipindahtugaskan ke lokalisasi di perlintasan Kereta Api Stasiun Wonokromo, Surabaya. Terlintas di benaknya, berhenti mengikuti pelatihan, karena merasa tak mampu menjalaninya. Ia membayangkan akan bertemu dengan preman yang bisa mengancam keselamatannya. Belum lagi, ia harus mengalami ‘tabrakan’ nilai di dunia yang kerap dianggap ‘kotor’ itu.

Dengan berat hati, masa live-in ia jalani. Ia harus menerima risiko yang tak ringan dan mengiris hati, saat berada di tengah lokalisasi kelas bawah itu. Mulai dari menyaksikan proses transaksi hingga aktivitas prostitusi di bilik-bilik yang kumuh. Bahkan, ia pun sempat ‘ditawar’ beberapa pria. “Saya dikira pedila juga,” kisahnya disertai senyum.

Suatu hari, ia berkeluhkesah pada Pastor Edi Laksito Pr, pastor mahasiswa di Surabaya saat itu. Romo Nanglik, begitu Pastor Edi biasa disapa, berkata pada Mike, “Lebih menyenangkan, jika kita memasuki ketakutan itu, bukan malah menjauhi. Area ketakutan harus didatangi dan dicari. Sebenarnya, apakah benar-benar menakutkan atau hanya pikiran kita yang menakutkan?” Pesan itu terus mengiang di tambur telinga dan hatinya. Mike bertanya dalam hati, benarkah mereka menakutkan seperti yang ada dalam pikiran.

Seorang fasilitator asal Denmark juga terus menantang Mike, “Kenapa hanya begitu saja kamu nggak bisa? Kamu mau jadi orang muda seperti apa?” Sebuah cambukan semangat ia dapatkan lagi. Mike tertantang. Ia pun masuk ke area prostitusi. Di luar dugaan, Mike justru menikmati masa live-in itu. Ia dapat bergaul dengan para preman, waria, juga para pedila. “Ketakutan itu hanya ada pada pikiran,” ujarnya.

Mike bersyukur dapat melihat sisi kehidupan yang berbeda. Ia menemukan banyak pengetahuan yang membuatnya mampu menyatu dengan komunitas yang ia datangi. Terlebih, saat ia makin menyadari, bahwa kaum pedila memang dikondisikan agar tak bisa mengubah jalan hidupnya.

Lapisan bawang
Menurut Mike, ada banyak pihak terlibat di kancah prostitusi di Indonesia. Setelah bertahun-tahun menggeluti dunia ini, ia menyadari, selain mucikari, ada pihak lain, seperti aparat pemerintah mulai tingkat RT, petugas tramtib, keamanan, bahkan suami yang turut menguasai para pedila. “Ibarat lapisan bawang, mereka (para pedila) berada di lapisan paling pucuk. Selama ini kita berpikir bahwa pedila itu dikuasai para mucikari,” gugat Mike yang pada tahun 1997 pernah diciduk aparat keamanan karena berdemonstrasi anti-Soeharto bersama Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) di depan Gedung Grahadi Surabaya.

Istri Willybrodus Sulistyo Wardhono ini menambahkan, para perempuan itu memilih menjadi pedila, bukan karena senang atau sadar. Tapi, ada banyak aspek yang membuat mereka harus menjadi pedila. Dan sangat disesalkan, pemerintah sepertinya membiarkan prostitusi terus berjalan. “Kebijakan pemerintah selalu bersifat parsial. Ujung-ujungnya malah memarjinalkan pedila, sebagai ‘tersangka’ dalam penyebaran HIV/AIDS,” ungkap Mike yang pernah mengadvokasi para pedila di lokalisasi Dolly dan Kembang Kuning Surabaya.

Tersingkir
Mike pun mengaku pernah merasa tersingkir dari rekan-rekannya di Mudika, saat masih di Surabaya. Beberapa anggota Mudika mempertanyakan pilihan Mike mendampingi pedila. “Ngapain sih kerja kayak gitu? Kan berisiko,” kata Mike menyitir perkataan rekan-rekannya itu.

Mike tak menampik, penyakit menular seksual dapat berasal dari para pedila. Namun, ia juga mempertanyakan pada teman-temannya di Mudika, yang tak pernah menyalahkan orang-orang yang datang pada pedila. Seharusnya, mereka tahu bahwa berhubungan seks dengan berganti-ganti pasangan berisiko tertular HIV/AIDS.

Bahkan, seorang suster di Surabaya pun pernah mempertanyakan pilihannya. Mike yang notabene berlatarbelakang pendidikan psikologi, diminta suster itu memberi konseling bagi anggota Mudika di parokinya. Tapi, Mike menjawab lugas, “Untuk apa saya memberi konseling? Mereka hanya tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Tapi, ketika saya melihat orang-orang di luar sana, saya merasa, tak hanya persoalan konseling, tapi pikiran dan keimanan yang harus kita sumbangkan ke mereka. Buat apa memberi konseling pada mudika? Mereka sudah punya guru Bimbingan dan Penyuluhan (BP) di sekolah.” Jawaban yang tegas.

Sebagai seorang Katolik, Mike mengaku menimba inspirasi dari Yesus yang tak melakukan diskriminasi pada profesi yang dijalani umat-Nya. “Ajaran-ajaran Yesus sebenarnya mengandung banyak nilai-nilai hak asasi manusia,” tegas Mike.

Terpisah Jarak

Mike terbilang beruntung. Lantaran, memiliki pendamping hidup yang dapat memahami aktivitasnya. Saat ini ia dan suaminya, Willybrodus Sulistyo Wardhono, harus terpisah jarak. Sang suami tinggal dan bekerja di Surabaya, sementara ia tinggal di Jakarta. Padatnya aktivitas Mike, membuatnya hanya bisa bertandang ke Surabaya sekali sebulan. Ia dan suami berharap, dapat berkumpul di Jakarta tahun ini.
Mike mengaku, tak hanya mendapatkan pendamping hidup, tapi juga sahabat, partner, dan motivator yang amat setia memberinya masukan yang membangun. Barangkali, hal ini terjadi karena sebelum menggeluti pekerjaannya sekarang, suaminya juga seorang aktivis mahasiswa di Fakultas Teknik Manajemen Industri Universitas Surabaya. “Dulunya kami juga berteman, sama-sama aktif di Forum Studi Analisis Sosial,” kata Mike.

Franky Susanto a.k.a. F Pascaries

Dimuat di rubrik Eksponen Majalah Mingguan HIDUP, 22 Februari 2009

28 August 2009

Chappy Hakim, Dari Kokpit ke Blog

Ruangan di Airman Planet, Hotel Sultan itu saya sambangi. Bukan untuk kongkow-kongkow bareng teman-teman se-'gank', atau ngedate bareng cewek pujaan. Di hari pertama bulan Agustus 2009 itu, saya datang ke tempat itu untuk acara kopi darat kompasiana. Seorang purnawirawan marsekal, dengan lebih dari delapan ribu jam terbang, berpengalaman sekian tahun sebagai pilot pesawat kepresidenan, menorehkan prestasi membanggakan, menuliskan gagasan-gagasanya di blog kompasiana.com. Di bulan kemerdekaan ini, ia meluncurkan sebuah buku yang berisi sebagian tulisannya di blog itu, Cat Rambut Orang Yahudi. Ia adalah Chappy Hakim. Dari kokpit pesawat ia beranjak ke jagat maya dengan menjadi blogger. Tak heran, Museum Rekor Indonesia (MURI) mencatat Chappy Hakim sebagai “Bintang empat pertama (marsekal/jenderal) yang tulisan-tulisannya di blog (Kompasiana) diterbitkan menjadi buku”.


Si anak zaman
Banyak orang bilang, setiap zaman punya 'anaknya' masing-masing. Setiap generasi memiliki cara dan gaya masing-masing dalam mengungkapkan pemikiran, perasaan, atau apapun yang ada dalam hati dan pikirannya. Bangsa kita ini pernah memiliki seorang pejuang -mesti (sempat) ditepikan dari panggung sejarah- bernama Tan Malaka, yang terkenal tekun dalam menulis artikel, esai, bahkan naskah drama. Naskah dramanya, Merdeka 100%, bahkan sudah diterbitkan oleh Penerbit Marjin Kiri, dalam sebuah buku berwarna sampul merah darah. Soe Hok Gie, juga setali tiga uang. Sejumlah naskahnya sudah dibukukan. Sebut saja, Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan (hasil skripsi S-1-nya), Di Bawah Lentera Merah (hasil skripsi sarjana muda-nya), dan tentu saja Catatan Seorang Demonstran. Bahkan tahun 2005 Miles Production meluncurkan film Gie, yang sedikit banyak semakin mengangkat sosok ini ke dalam ruang publik.
Sekitar 40 tahun setelah Soe Hok Gie menulis CHSD di tahun 1960-an, lebih setengah abad tahun setelah Tan Malaka menuliskan pamflet-pamfletnya, di hari pertama bulan Agustus itu, Chappy Hakim bersama Penerbit Kompas menerbitkan kumpulan tulisan Sang Marsekal, hasil ngeblog kakek dari seorang cucu ini. Saya percaya, tulisan-tulisan CH sekian tahun ke depan, akan menjadi 'harta karun' yang amat berharga bagi bangsa ini. Ditulis oleh seorang dari kalangan militer, yang umumnya (terkesan) kaku, dengan bahasa yang lumayan renyah, buku Cat Rambut Orang Yahudi (CROY) sama sekali tidak terkesan 'seadanya'. Beginilah seharusnya sebuah buku atau tulisan dikemas di era moderen ini. Substansi tidak selayaknya menghamba pada tampilan. Sebaliknya, tampilan juga tidak selayaknya dikorbankan demi menarik pembaca, dengan mengabaikan substansi.

Pertemuan kompasianers Sabtu 1 Agustus 2009 lalu, membuat saya kembali tergairahkan untuk menulis. Saya harus mengangkat topi pada Chappy Hakim (CH). Di masa purnabaktinya, ia masih produktif merangkai kata menjadi kalimat, menata kalimat menjadi sejumlah paragraf, dan kemudian menjadikan paragraf demi paragraf itu tulisan yang bisa mengajak kita untuk berpikir, membuka wawasan, dan tidak jarang tergelitik bahkan tersentil. Bahkan, dua tulisan CH sudah menjadi buah bibir dan perdebatan di portal kompasiana, CROY (diposting 10 November 2008) dan Mengapa Orang Yahudi Banyak yang Pintar ?(diposting 5 Februari 2009). Satu hal yang (barangkali) tidak pernah diduga oleh penulisnya sendiri.

Beda era
Hari demi hari, saya meyakini bahwa menulis sejarah tidak melulu urusan para sejarawan. Setiap saat kita bisa menulis sejarah. Apa yang dilakukan kompasianers pun tak ubahnya adalah menulis sejarah. Bayangkan, taruhlah 20 tahun lagi, kita akan kembali membaca tulisan CH, dan kompasianers yang lain sambil mengingat-ingat dan membaca setiap postingan. Kita patut bersyukur, bisa menikmati satu hal yang tidak pernah dinikmati atau sekadar dibayangkan oleh Soe Hok Gie, Tan Malaka, Pramoedya Ananta Toer, Bung Karno, Bung Hatta, dan sejumlah tokoh-tokoh besar lain. Mereka menulis di atas kertas lusuh. Mereka menggoreskan tinta mereka dengan penuh ketekunan. Tidak jarang pula, mereka menuliskan gagasan mereka di tengah tekanan. Bahkan, ketika tulisan itu telah selesai mereka harus menyelundupkan naskah mereka, dari tangan orang-orang dekat mereka, agar tulisan itu bisa disebarluaskan. Bagaimana tidak, saya pernah mewawancarai imam Katolik, Pastor Stanislaus Sutopranoto Pr. Ia berkisah tentang suatu kejadian yang cukup membuat detak jantungnya berdegup kencang, saat tahun 1972 menyelundupkan transkrip Bumi Manusia dari Pulau Buru, karya Pramoedya Ananta Toer.
CH, Tan Malaka, Soe Hok Gie hidup di era berbeda. Sebelum dibukukan, tulisan-tulisan CH menjumpai pembacanya di dunia maya. Sementara, Tan Malaka, Soe Hok Gie menyebarkan naskah-naskah mereka lewat pamflet dan media massa di eranya. CH meluncurkan bukunya di sebuah cafe yang berada di sebuah hotel berbintang lima, tidak seperti Tan Malaka dan Soe Hok Gie. Begitulah. Tidak ada yang salah tentu. Mereka hidup di era yang berbeda.

Di halaman 180 buku CROY, dalam artikel berjudul Obama Meninggalkan NASA? CH menuliskan moto dari badan ruang angkasa milik pemerintah Amerika Serikat: For The Benefit of All. Saya percaya CH sudah memberikan apa yang dia bisa berikan untuk bangsa ini. Baik sebagai prajurit, komandan, penerbang, dan kini sebagai blogger. Tentu, bukan untuk dirinya, melainkan, for the benefit of all, dan dari kokpit ke blog.

Saya belajar dari Anda, Marsekal !

Photo by Edy Taslim

07 August 2009

Mengisi Lembaran Kelimapuluhenam

Hari ini setahun yang lalu di sebuah rumah di Tomang, Jakarta Barat. Sebotol anggur ‘diserbu’ oleh lima orang pria, yang sudah sekian jam mengadakan rapat. Sekitar pukul 12 tengah malam, lima gelas berisi anggur itu pun beradu. Bukan untuk bermabuk ria. Melainkan untuk berucap syukur, karena salah seorang di antara lima pria itu berhari jadi. Ia adalah Romo Johannes Hariyanto SJ, yang hari ini kembali merayakan hari kelahirannya, di tengah-tengah para Komjakers, yang “lagi lucu-lucunya”. Bukan hanya para fasilitator, seperti di hari jadinya tahun lalu


Tahun lalu, seingat saya, selain Romo Hari –begitu ia biasa disapa- ada Daniel Awigra, Felix Iwan Wijayanto, Lexy Rambadeta, dan saya sendiri yang berkumpul untuk rapat fasilitator Komjak. Selepas jam 12 malam, sekali lagi seingat saya, kami mengucapkan selamat, dan merayakan momen itu dengan sebotol anggur penghangat. Di rapat kali itulah, nama Kampus Orangmuda Jakarta (KOMJAK) tercetus. Dan, tahun ini, Romo Hari kembali mengenang peristiwa kelahirannya itu.

Pendampingan orangmuda sepertinya memang sudah menjadi jalan hidup Romo Hari, sejak ia masih menjalani pendidikan sebagai frater teologan di Kolese Santo Ignatius (Kolsani) Yogyakarta di awal tahun 1980-an. Suatu masa, di mana sebagian besar dari fasilitator dan komjakers, termasuk saya, masih harus belajar berjalan, atau bahkan belum ‘dirilis’ ke dunia ini. Dalam situasi yang berbeda, segenap proses pembelajaran yang coba diterapkan di Komjak ini, tak lain adalah buah-buah pembelajaran yang telah ia jalani lebih dari dua dasawarsa silam. Di suatu masa, ketika ia pun kerap mengalami kebingungan, kegundahan, kegelisahan, sebagai orangmuda.

Ia mengaku, proses pembelajaran di Komjak ini tidak murni lahir dari pemikirannya. “Bukan made in saya,” begitu ia mengistilahkan. Semua yang ia jalani terkait pendampingan kaum marjinal di Yogyakarta, dan juga yang coba diterapkan di Komjak sekarang ini, tak lain adalah bentuk adaptasi dari kuliah-kuliah teologi saat itu. Untuk semua itu, ia mengaku harus berterima kasih pada almarhum Romo Tom Jacobs SJ dan Romo Bernard Kieser SJ, dua seniornya di Serikat Jesus. “Dua orang itulah yang katakanlah menjadi sumber inspirasi saya,” kata Romo kepada saya dan Awi dalam sebuah obrolan di 23 Juni 2009 malam, di Wisma Agustinus, Tomang, Jakarta Barat.

Bola itu pun ditendang
Pertemuannya dengan Awi dalam sebuah acara di sebuah hotel di Jakarta 15 Februari 2008, menjadi sebuah titik berangkat. Awi, yang bersama jaringan masyarakat sipil saat itu tengah mengadvokasi kasus Ahmadiyah, lantas ia ‘todong’, untuk membuat sebuah kaderisasi untuk orangmuda Katolik. Awi yang terkadang sulit direm ketika sedang berkata-kata, sontak tergagap. Saat kekagetan dan keheranan Awi belum beringsut, Romo Hari malah menambahkan, “Kamu nggak usah mikir duitnya!” Romo Hari pun lantas pulang begitu saja, seolah tanpa rasa bersalah sedikitpun. Sebelumnya, Awi juga sudah tersentak saat Romo Hari berkata, target dari kaderisasi ini adalah “masuk parlemen!!!” Awi bertanya-tanya dalam hatinya, apa maksud dari semua ini? Jadilah tanggal 15 Februari 2008 itu, hari yang mengelisahkan untuk Awi. Bola itu pun mulai ditendang, dalam bahasa Romo Hari. Bola itu ditendang, tanpa Romo Hari bertanya terlebih dulu, “Awi, kamu sibuk apa sekarang?”

Komjak (sepertinya) adalah (salah) satu yang sudah menjadi keprihatinan dan kepedulian Romo Hari dua dasawarsa lalu. Tentu bukan Komjak dalam arti seperti sekarang ini, melainkan kaderisasi orangmuda Katolik yang serius. Pertemuannya dengan Awi, perkenalannya dengan Felix beberapa tahun lalu, perjumpaannya dengan semua fasilitator lain, dan berlanjut ke para Komjakers, seakan menjadi jawaban Tuhan atas keprihatinan dan kepeduliannya selama ini. Awi, biasanya mengistilahkan ini dengan “persentuhan”, yang dibaca secara terpisah” persen(an) dari Tuhan. Romo Hari menganggap, pertemuannya dengan Awi Februari tahun lalu itu adalah providentia Dei alias penyelenggaraan ilahi. “Karena, dalam hidup sesuatu yang sifatnya aksenden, sesuatu yang terputus, lepas-lepas, seolah-olah, bisa saja dilihat terkait satu sama lain,” ujarnya.

Pendidikan Ignasian a la Jesuit ia jalani. Sehingga tak heran, setiap proses pembelajaran yang coba diterapkan di Komjak ini diilhami oleh spirit sang prajurit (St.Ignatius Loyola, sebelum mendirikan Serikat Jesus adalah seorang prajurit). “Saya sendiri merasa, nggak perlu malu untuk mengatakan itu. Karena, ada pepatah Latin nemo dat quod non habet (orang tidak bisa memberi dari sesuatu yang tidak dimiliki),” katanya. Pengalamannya selama menjadi frater teologan dua dasawarsa silam di kota gudeg, Yogyakarta, coba dijalaninya dengan sejumlah adapatasi, agar bisa dijalankan dalam konteks yang berbeda secara sosial budaya, sosial ekonomi, dan entah apa lagi, di kota metropolis, Jakarta.

Sisi lain

Saya baru tahu, dan mungkin juga tak banyak orang tahu, bahwa Romo Hari bisa mengendarai sepeda motor. Di sela-sela kegiatan pelatihan public speaking Komjak di Wisma Training Pondok Labu, Jakarta Selatan, 21 Juni 2009 lalu, Felix tercekat. Bagaimana tidak, Romo Hari ingin meminjam motornya, untuk membeli beberapa keperluan bersama Victoria Sendy, “Menteri Keuangan” Komjak, yang bertubuh mungil itu, di Indomaret, sekitar 500 meter dari Wisma Training. “Bukan hanya Komjaker dan fasilitator. Mungkin dunia juga baru terbuka matanya, akan fakta bahwa Romo Hari bisa naek motor,” kata Felix dalam perbincangan melalui Yahoo Messenger siang ini. Sejumlah fasilitator yang ada di sana was-was, lantaran kondisi motor Felix, yang tidak terlalu mudah untuk dikendarai. Saya sendiri pernah membawa motor itu, dan merasakan deg-degan, karena stang motor itu sungguh tidak mudah dikendarai, kecuali oleh pemiliknya sendiri, yang tetap saja berani membawanya dengan kecepatan cukup tinggi.

Oya, di pelatihan public speaking itu, Romo Hari berlaku iseng. Saat seorang Komjaker tengah unjuk kebolehan dalam simulasi orasi dengan penuh semangat, tiba-tiba Romo Hari melempari sang orator dan “massa” dengan puluhan permen. Sekumpulan “massa” itu pun kontan bubar, dan lebih memilih untuk memunguti permen demi permen, ketimbang menyimak omongan sang orator. Belakangan, ia menjelaskan bahwa hal itu ada bagian simulasi dari “operasi kontra demo” yang ia refleksikan dari teori intelijen, bahwa baik orator maupun massa harus sama-sama menjaga konsentrasi. “Pas latihan orasi, itu oratornya semangat, massa juga. Oleh Romo Hari mereka dilempari permen, ‘massa’ bubar, sang oratorpun kehilangan konsentrasi,” ujar Felix.

Romo Hari, selamat memasuki lembar kelimapuluhenam dalam hidup ini. Selamat melanjutkan karya keselamatan di lembar yang masih baru ini. Lima puluh lima lembar yang lalu, sudah diisi dengan berbagai sukacita dan sukaduka. Keberhasilan, kegagalan, kegembiraan, kesedihan sudah membuncah di sana-sini. Kiranya, itu semualah yang membentuk Romo sampai saat ini.

Tak ada kado untuk diberi. Saya hanya memiliki kisah ini untuk dibagi. Dibagi, dengan harapan bisa menjadi bahan untuk direnungkan. Tidak hanya untuk Romo, melainkan juga untuk teman-teman lainnya di Komjak.
Tuhan memberkati kita semua… Amin


Suatu pagi 6 Agustus 2009, di Tirtayasa VII No.1, Kebayoran Baru.


05 August 2009

Tak Ada Si Doel di Ragunan

Arak-arakan itu benar-benar mengganggu lalu-lintas. Menurut Traffic Management Centre (TMC) Ditlantas Polda Metro Jaya, ada sekitar 15 ribu anggota dan simpatisan FBR diperkirakan yang terjun dalam arak-arakan itu. Mereka datang dengan menggunakan sepeda motor dan Metro Mini. Kemacetan terparah terjadi, ketika bus Transjakarta harus mengalah, demi gerombolan massa FBR yang memenuhi semua sisi jalan. Bahkan, mereka tidak segan-segan menggunakan sisi jalan untuk kendaraan dari arah Ragunan. Beginikah cara mereka menunjukkan eksistensi?


Sepasang kaki ini terasa pegal. Bagaimana tidak, dari halte busway Kuningan Timur –tidak jauh dari Hotel Gran Melia– saya harus berdiri sampai pemberhentian akhir di Kebon Binatang Ragunan. Jarak belasan kilometer itu harus saya tempuh selama lebih kurang 60 menit. Dari Halte Mampang, bus yang saya tumpangi berangkat pukul 11.18, dan turun sebelum Halte Ragunan jam 12.14. Meski itu pertama kalinya saya naik bus Transjakarta jurusan Halimun-Ragunan, saya berani bertaruh paling lama jarak itu bisa ditempuh dalam waktu lebih cepat. Bagaimana tidak, ratusan pengguna jalan –sekurangnya dari Kuningan– harus mengalah pada arak-arakan anggota dan simpatisan Forum Betawi Rempug (FBR) yang menuju ke Kebun Binatang Ragunan. Mereka menuju ke sana, untuk menghadiri Milad ke-8 FBR, sekaligus peringatan 100 hari wafatnya KH Fadloli El Muhir, pendiri FBR. Arak-arakan itu benar-benar mengganggu lalu-lintas. Menurut Traffic Management Centre (TMC) Ditlantas Polda Metro Jaya, ada sekitar 15 ribu anggota dan simpatisan FBR diperkirakan yang terjun dalam arak-arakan itu. Mereka datang dengan menggunakan sepeda motor dan Metro Mini. Kemacetan terparah terjadi, ketika bus Transjakarta harus mengalah, demi gerombolan massa FBR yang memenuhi semua sisi jalan. Bahkan, mereka tidak segan-segan menggunakan sisi jalan untuk kendaraan dari arah Ragunan. Beginikah cara mereka menunjukkan eksistensi?

Di Minggu 2 Agustus lalu itu, berkali-kali, ponsel saya bergetar. Artinya, berkali-kali pula saya harus merogoh saku celana untuk membaca dan mengirim pesan pendek dari beberapa teman, di antara himpitan para penumpang bus transjakarta yang lain. Dua dari delapan teman yang rencananya akan bersenang-senang di Kebon Binatang Ragunan telah tiba di sana. Saya membalas pesan-pesan pendek mereka seraya menggerutu. Menggerutu, karena rencana untuk tiba di Ragunan sekitar jam 11 siang harus tertunda, lantaran pawai kendaraan FBR itu.

Ngomong-ngomong soal orang Betawi, saya tidak bisa memalingkan pikiran saya dari sosok Si Doel, yang sempat kondang diperankan aktor Rano Karno di layar kaca. Sosok Si Doel yang diperankan Rano sungguh santun. Ia sungguh menghargai tetangga dan kerabatnya. Tentu, saya tidak perlu panjang lebar menceritakan bagaimana keluarga Si Doel menjalin relasi dengan Mas Karyo, Pak Bendot, dan tokoh-tokoh lain dalam sinetron itu. Meski digambarkan sebagai sosok yang santun, Si Doel juga bisa bersikap tegas. Silahkan mengingat-ingat lagi sinetron itu.

Tetapi, apa lacur. Kemarin saya justru menyaksikan dengan sepasang mata sendiri, sekitar 15 ribu orang yang mengaku orang Betawi, namun melakukan hal yang bertolak belakang dengan apa yang coba diperankan oleh Rano Karno, yang sekarang jadi Wakil Bupati Tangerang itu, di sinetron. Tentu kita tahu, ini bukan pertama kalinya FBR melakukan aksi seperti ini. Mereka juga bukan satu-satunya ormas di republik ini, khususnya di Jakarta, yang doyan unjuk kekuatan massa dengan cara seperti ini.

Di sepanjang jalan, terutama selepas perempatan Departemen Pertanian, terlihat jelas betapa massa FBR ini betul-betul melumpuhkan lalu-lintas. Satu badan jalan ternyata tidak cukup untuk mereka. Mereka akhirnya juga harus memaksa pengguna kendaraan dari arah Ragunan mengalah, dan memberikan jalan itu untuk mereka. Sejumlah kendaraan pribadi dan angkutan umum harus menyingkir, demi massa FBR itu. Dan kami, penumpang Bus Transjakarta juga harus mengalah, dengan turun sekitar 100 meter menjelang halte terakhir, Ragunan.

Bang Doel, di mana engkau berada hari Minggu lalu? Mengapa kau tak ada di Ragunan?
Dalam hati, saya teringat kembali syair lagu ini…

Anak betawi, ketinggalan zaman..katenye!
Anak betawi, gak berbudaye...katenye!
Aduh, sialan!! Nih si Doel anak betawi asli.
Kerjaannye sembahyang mengaji
Tapi jangan bikin die...sakit hati..
Bikin perih sekali..hey!! orang bisa mati...


03 July 2009

Tiga Jenderal itu Bertarung

Sepuluh tahun (1988-1998) adalah waktu yang lebih dari cukup buat saya untuk mengetahui bagaimana militer Indonesia melakukan kekejaman, penistaan dan politik adu domba di antar warga Timor Leste sendiri. Selama masa jajak pendapat 1999 kebetulan saya berlibur ke Kefamenanu, ibukota dari Kabupaten Timor Tengah Utara, yang berbatasan dengan Kabupaten (sekrang distrik) Ambeno, Timor Leste. Maklum, orangtua saya dipindahtugaskan dari Dili ke Ambeno, Februari 1999. Ambeno sendiri bisa ditempuh dengan sepeda motor dalam waktu sekitar satu jam perjalanan dari Kefamenanu.

Saya waktu itu berada di sana selama lebih kurang dua minggu, di bulan September 1999. Kefamenanu itu kota kecil yang sepi. Selepas magrib, situasinya tak ubahnya kota mati. Satu hal yang membuatku risih dan kesal adalah tingkah polah dari personil paramiliter yang disponsori tentara Indonesia. Jelas Wiranto tidak mungkin lepas tangan, karena waktu itu dia adalah Panglima ABRI. Pernahkah teman-teman membayngkan, untuk duduk bersebelahan di angkot dengan orang yang membawa senapan dan senjata rakitan dengan bau minuman yang menyengat dari mulutnya? Itulah yang terjadi selama saya berada di Kefamenanu lebih kurang dua minggu. Di Timor Leste, sekurangnya ada dua kelompok paramiliter yang 'disuapi' oleh tentara Indonesia: Sakunar (dlm bahasa Tetun, artinya kalajengking) dan Aitarak (dlm bahasa Tetun, artinya duri). Mereka ini rata-rata pemuda-pemuda jobless dari kampung yang direkrut untuk mengabdi pada kepentingan tentara! Saya teringat dengan wawancara saya untuk Majalah HIDUP dengan Uskup Belo di Sunter sekitar Juni 2007. Waktu itu, ia bilang: "Anak-anak muda itu dengan mudahnya menerima bayaran orang-orang tertentu – entah siapa – untuk merusak ini dan itu." Dalam bahasa Tetun, mereka itu disebut "Mauhu". Dalam bahasa Indonesia, ya "mata-mata" atau "pengkhiant". Tulisan hasil wawancara saya dengan Uskup Belo sudah diterbitkan Majalah HIDUP dan juga saya rilis unedited version –nya di Facebook ini. Lagi-lagi, kita harus berterimakasih pada Mark Zuckerberg untuk inovasi briliannya ini.

Beberapa tidur malam saya di Kefamenanu sungguh tidak nyaman. Beberapa kali terdengar bunyi tembakan dan suara orang berlarian, berkejaran, dan sesekali berteriak. Tetapi, entah kenapa tidak ada korban luka atau meninggal di sana waktu itu, setahu saya. Entahlah.

Di hari pelaksanaan pencoblosan (atau pencontrengan?) jajak pendapat kebetulan bapak saya bertugas di salah satu tempat pemungutan suara di Ambeno. Demi tanggungjawab profesi ia bertahan di sana, saat semua bawahannya di Departemen Agama Kabupaten Ambeno telah mengungsi ke daerah-daerah terdekat dari Timor Leste: Nusa Tenggara TImur, bahkan ke Pulau Jawa, dan daerah-daerah lain di Indonesia. Situasi di hari itu, relatif aman. Tetapi, beberapa hari setelah itu, Ambeno dibumihanguskan !!! Nyaris tak ada rumah di sisi kanan-kiri jalan yang lolos dari api. Ratusan ternak (di)lepas(kan) begitu saja dari kandangnya. Efeknya jelas: harga daging sapi, babi, kerbau menjadi anjlok. Saya tidak tahu persis harganya turun dari berapa ke berapa, tapi menurut ibu saya, anjloknya drastis!. Hampir setiap hari saya makan daging itu selama di Kefa. Satu harga yang anjlok ikan laut. Tetapi, karena konon (saya hanya mendengar, tidak menyaksikan sendiri) banyak orang yang dibunuh paramiliter, dan mayat mereka dibuang ke pantai dan laut Ambeno, bisa dibilang tidak ada orang yang mau membeli ikan laut hasil tangkapan para nelayan.

Tiga jenderal di masa orde baru bertarung memperebutkan kursi presiden dan wakil presiden di tahun ini. Apa kita akan memilih mereka? Apa pula arti dari semua tulisan ini? Silahkan pembaca membuat kesimpulan masing-masing. Tulisan ini menggunakan asas "do not tell, but show". Saya hanya memaparkan apa yang saya lihat, apa yang saya rasakan, selama sekitar dua minggu berada di Kefamenanu. Masih ada waktu beberapa hari untuk menentukan pilihan: memilih salah satu dari mereka? Atau memilih untuk tidak memilih.

Membayangkan wajah tiga capres dan cawapres itu, tidak bisa tidak, pikiran saya langsung mengarah pada mereka yang menjadi korban penculikan, perkosaan di negeri ini 11 tahun silam. Entah trauma berlebih atau apa, saya sedikit alergi dengan seragam loreng. Saya pernah menentang habis-habisan adik laki-laki saya yang berniat menjadi tentara. Alhamdulilah, ia gagal dalam tes fisik. Dalam hati, saya menyanyikan dengan lirih, lagu Imagine dari almarhum John Lennon:

Imagine there's no heaven
It's easy if you try
No hell below us
Above us only sky
Imagine all the people
Living for today...

Imagine there's no countries
It isn't hard to do
Nothing to kill or die for
And no religion too
Imagine all the people
Living life in peace...

You may say I'm a dreamer
But I'm not the only one
I hope someday you'll join us
And the world will be as one

Imagine no possessions
I wonder if you can
No need for greed or hunger
A brotherhood of man
Imagine all the people
Sharing all the world...

You may say I'm a dreamer
But I'm not the only one
I hope someday you'll join us
And the world will live as one



Mgr.Carlos Filipe Ximenes Belo SDB, Mendorong Perdamaian Dari Belakang

Suatu ketika telepon di salah satu komunitas Salesian Timor-Timur (sekarang Timor Leste) berdering. Seseorang di ujung telepon mengabarkan bahwa Mgr Carlos Filipe Ximenes Belo SDB menjadi penerima Nobel Perdamaian tahun 1996 bersama Jose Ramos Horta. Bruder yang menerima telepon lantas mengabarkan hal itu kepada sang Uskup yang sedang memimpin misa lewat secarik kertas. Beberapa detik membaca, Uskup Belo melanjutkan perayaan ekaristi setelah meletakkan secarik kertas itu. Dari wajahnya nyaris tak ada perubahan ekspresi. Datar. Dingin.



Kisah singkat itu diungkap oleh Kepala Paroki St.Yohanes Bosco Sunter Pastor Noel Villafuerte SDB dalam perayaan ekaristi yang dipimpin oleh Uskup Emeritus Carlos Filipe Ximenes Belo SDB sebagai konselebran utama, didampingi Pastor Noel Villafuerte SDB, Benedictus Sunarjoko Pranoto SDB, Pastor Petrus Pehan Tukan SDB, dan Pastor Yosep Suban Ola SDB. Misa itu diadakan untuk memperingati Hari Semua Orang Kudus, 1/11 lalu.

Lama tak terdengar kabarnya, mantan Uskup Titular Lorium Dili Mgr Carlos Filipe Ximenes Belo SDB, muncul di Gereja St Yohanes Bosco Sunter, Jakarta Utara. Peraih Nobel Perdamaian 1996 (bersama Ramos Horta) ini memimpin Ekaristi konselebrasi bersama Kepala Paroki Yohanes Bosco Sunter Pastor Noel Villafuerte SDB, Pastor Benedictus Sunarjoko Pranoto SDB, Pastor Petrus Pehan Tukan SDB, dan Pastor Yosep Suban Ola SDB. Misa itu diadakan untuk memperingati Hari Semua Orang Kudus, 1/11.
Kedatangan Uskup Belo – demikian kalangan pers biasa menyebutnya – ke Indonesia, adalah kelanjutan dari lawatannya di Timor Leste. Kelahiran Wailacama, Baucau, 3 Februari 1948 yang kini bermukim di Portugal ini diundang Pemerintah Timor Leste menjadi pembicara dalam seminar yang diselenggarakan Ministerio de Justiçia (Kementerian Kehakiman) di Dili, 21/10.

Uskup yang sempat berkarya sebagai misionaris di Mozambik ini selama sepekan berada di Timor Leste. Di tanah kelahirannya ini, ia menjalankan misi perdamaian dengan mengadakan sejumlah pertemuan dengan tokoh berpengaruh di negara itu. Ia menemui Presiden Xanana Gusmao, Perdana Menteri Ramos Horta, beberapa menteri, dan pimpinan partai oposisi. Tak ketinggalan, pimpinan angkatan bersenjata dan polisi nasional, juga komandan tentara pemberontak Alfredo Reinado yang masih berada di hutan di Distrik Suai, Pantai Selatan Timor Leste.

Sungguh. Pertemuan saya dengan Uskup Belo kali ini sangat emosional. Ingatan saya melayang ke tanggal 12 Desember 1992, saat saya menerima Sakramen Krisma darinya, di Gereja Sagrado Coração de Jesus, Venilale, Baucau, Timor Leste. Kedatangan Uskup Belo ke Jakarta kali ini, sungguh tak terduga. Sebelumnya, seorang teman berbaik hati mengabarkan saya via pesan pendek perihal kedatangan Uskup Belo. Tanpa pikir panjang jarak Cibitung-Sunter saya tempuh dengan sepeda motor dalam waktu lebih kurang dua jam, demi mengikuti misa kudus itu. Seusai misa, saya meminta seorang frater salesian, yang tak lain dulu adalah teman satu angkatan di Seminari Venilale, Florentino Gil SDB untuk meminta jadwal wawancara saya dengan Uskup Belo, keesokan harinya (kalau saya tidak salah ingat) di Wisma Salesian Don Bosco, Sunter. Saya khawatir, Uskup Belo tidak bisa mengenali saya dengan baik.

Di hari wawancara, saya terlebih dulu menikmati "Merenda" di Wisma itu. Jangan bayangkan "merenda" dengan kegiatan menenun atau sejenisnya. “Merenda” lahir dari kosakata Portugis, yang kira-kira berarti snack. Aktivitas itu menjadi tradisi di semua rumah Salesian di seluruh dunia, sebelum memulai aktivitas olahraga di setiap sore. Saat "merenda" satu meja dengan sang Uskup, kami sedikit bernostalgia dengan kenangan selama saya di Timor Leste. Ia menanyakan kabar Bapak saya, karena beberapa kali Bapak saya (yang kebetulan bekerja di Bimas Katolik, Kanwil Departemen Agama Provinsi Timor-Timur) berurusan kerja dengannya.

”Semua itu saya lakukan untuk mendengar harapan-harapan mereka,” katanya saat ditemui di Wisma Salesian Sunter, beberapa jam sebelum merayakan Misa bersama komunitas Timor Leste di Jakarta. Itu ia katakan untuk menjelaskan ‘posisi’nya dalam proses mediasi ini. Setelah tokoh-tokoh di Timor Leste ia temui, ia berkesimpulan semua tokoh dan pimpinan organisasi di Timor Leste menginginkan adanya dialog yang dilakukan secara terbuka di antara mereka. Pihak-pihak itu menginginkan ada pihak yang bisa menjadi mediator. Dan, menurutnya, mediator itu harus netral.

Ia menambahkan, ada kelompok dan pribadi yang mengusulkan hierarki Gereja menjadi mediator. Dalam hal ini Uskup Baucau Bacilio do Nascimento dan Uskup Dili Alberto Ricardo. Pihak-pihak yang bertikai di Timor Leste berharap, kedua uskup itu bisa mengambil inisiatif mempertemukan tokoh-tokoh yang berseberangan. ”Saya bersedia mendorong dari belakang supaya dialog ini cepat dilakukan. Agar mereka bisa memperbaiki situasi dan membantu para pengungsi kembali ke daerahnya masing-masing,” imbuhnya.

Kaum muda
Di Negeri Matahari Terbit (Lorosae, dalam bahasa Tetun berarti matahari terbit), peran Gereja Katolik sudah terasa sejak masa kolonial, pendudukan Indonesia, dan saat ini. Uskup Belo mengaku terkesan dengan apa yang sudah dan masih dilakukan jajaran Gereja Katolik di sana. ”Selain karena karya pastoral dan evangelisasinya, saya juga memuji para pastor dan suster yang telah ikut membantu saudara-saudara kami yang selama enam bulan ini berada di kamp-kamp pengungsi,” katanya.
Ia berharap Gereja Katolik di sana bisa lebih giat memberikan ajaran nilai-nilai moral dan etika kepada kaum muda dan awam untuk memahami ajaran Kristus, yaitu saling mencintai, saling menghormati, dan terutama saling memaafkan. Ketiga hal itulah yang menurut Uskup Belo penting karena masih ada kekerasan di sana-sini.

Sejak dulu hingga saat ini, ia menaruh perhatian mendalam pada generasi muda Timor Leste. Setelah kemerdekaan diraih, mereka hidup dalam krisis. Sebagian dari orang muda tetap menempuh pendidikan di sekolah-sekolah dan universitas. Ada sebagian lagi yang tidak mau bekerja. ”Mereka itulah yang dipakai pihak-pihak tertentu, saya tidak tahu siapa. Tapi, kelompok-kelompok itulah yang muncul untuk melempar batu, membakar, melukai sesama yang lain, dan juga membunuh,” ungkapnya prihatin.

Menurutnya, hal itu adalah sesuatu yang sangat penting bagi pemerintah, Gereja, dan masyarakat sipil untuk diselesaikan. Perlu ada alternatif-alternatif bagi kaum muda agar dapat keluar dari situasi ini. Ia berpandangan, selain pembinaan dari segi moral, penyediaan lapangan kerja adalah hal yang perlu dikedepankan. ”Kalau tidak ada lapangan kerja, mereka akan berada di pinggir jalan, di bawah pohon sepanjang hari, sepanjang malam, tidak berbuat apa-apa selain kekerasan,” kisahnya lirih.

Dalam kunjungan empat hari di Jakarta, ia menemui Pimpinan Provinsial Salesian Indonesia-Timor Leste Pastor Andres Calleja SDB guna melaporkan lawatannya selama sepuluh hari di sana. Ia pun menemui Uskup Agung Jakarta Julius Kardinal Darmaatmadja SJ, Pastor Markus Wanandi SJ yang pernah bertugas di Timor Leste. Juga ahli sejarah Pastor Adolf Heuken SJ sehubungan dengan buku sejarah Gereja Katolik di Timor Leste yang sedang digarapnya.

Sebelumnya, ia juga berkunjung ke Denpasar (28/10) untuk bertemu dengan sejumlah mahasiswa Timor Leste sekaligus merayakan Misa bersama mereka di Gereja St Fransiskus Xaverius, Denpasar.

Kini ia mengaku kesehatannya berangsur membaik. Namun, para dokter sebuah RS di Coimbra, Portugal selalu mendampinginya. ”Menurut mereka, saya harus tetap di sana supaya mereka bisa mengikuti perkembangan,” ujar pria yang ditahbiskan menjadi imam tahun 1980 ini.

Setelah kemerdekaan Timor Timur, Mei 2002, tekanan dari berbagai peristiwa perlahan mulai memukul kesehatannya. Paus Yohanes Paulus II menerima pengunduran dirinya sebagai Uskup Dili, 26 November 2002.

Penugasan baru
Setelah mengundurkan diri, Uskup Belo pergi ke Portugal untuk menjalani perawatan kesehatan. Awal 2004, ia menerima panggilan berulang-ulang untuk kembali ke Timor Timur dan mencalonkan diri menjadi presiden. Namun, Mei 2004, ia mengatakan kepada televisi pemerintah Portugal, RTP, ia tidak akan membiarkan namanya dicalonkan. ”Saya telah memutuskan untuk menyerahkan politik kepada para politikus,” katanya.

Sebulan kemudian, 7 Juni 2004, Pascuál Chavez, Pemimpin Serikat Salesian, mengumumkan dari Roma bahwa Uskup Belo akan mendapat penugasan baru. Dalam persetujuan dengan Takhta Suci, ia akan pergi ke Mozambik, tepatnya di Diosis Maputo, sebagai misionaris dan akan tinggal di negara itu sebagai anggota Serikat Salesian. ”Di sebuah paroki Salesian saya membantu pastor paroki mengadakan Misa, memimpin retret, dan mengadakan pertemuan dengan kaum muda,” tuturnya.

Sesudah berangkat ke Mozambik permulaan tahun 2003, ia beranjak ke Portugal untuk berobat karena harus menjalani beberapa kali operasi prostat. ”Hampir satu tahun saya berada di novisiat Portugal. Saya merasa lebih baik saya berkarya sebagai seorang misioner yang tidak punya tugas apa-apa,” ujarnya.

Sejak remaja, Belo memang memimpikan menjadi misionaris. Selama 19 tahun pelayanannya sebagai Uskup Dili (1983-2002), salah satu pokok yang paling sering ia bicarakan adalah tentang misi dan pentingnya menjadi misionaris. ”Hari ini waktunya telah tiba untuk menjalankan apa yang saya katakan kepada orang-orang Kristen di Timor Timur,” tutur monsinyur yang kini menetap di Lisboa, Portugal untuk waktu yang belum ditentukan ini.

Biodata
Carlos Filipe Ximenes Belo SDB
Tempat, tanggal lahir: Wailacama, Baucau, 3 Februari 1948
Orangtua: Domingo Vas Filipe - Ermelinda Baptista Filipe

Perjalanan karya:
1968: Menyelesaikan studi di Seminari Dare, Timor Leste.

1969 – 1981: Studi Filsafat dan Teologi di Italia dan Portugal.

26 Juli 1980: Tahbisan Imamat di Lisboa, Portugal.

1981: Kembali ke Timor Leste sebagai Direktur Kolese Salesian, Fatumaka, Baucau.

1983: Ditunjuk Administrator Apostolik Diosis Dili, menjadi pemimpin Gereja Timor Timur dan bertanggung jawab secara langsung kepada Paus.

19 Juni 1988: Ditahbiskan menjadi Uskup di Lorium, Italia.

1996: Bersama José Ramos-Horta menerima hadiah Nobel Perdamaian atas ”Kerja keras mereka menuju solusi damai atas konflik di Timor Leste.”

2002: Mengundurkan diri dari jabatan Uskup Dili.




Dimuat di Majalah HIDUP edisi No. 49 Tanggal 03 Desember 2006 dalam rubrik Eksponen.
Tulisan ini tidak persis seperti yang dimuat, karena saya menambahkan beberapa poin yang 'disunat' redaksi.

01 July 2009

Kesehatan, Beban atau Tanggungjawab?

Kasus Prita Mulyasari versus RS Omni Internasional yang begitu menyedot perhatian jutaan pasang mata dan telinga, memberi kita gambaran betapa layanan kesehatan di negeri kita tercinta ini, tak ubahnya komoditas yang diperjualbelikan. Mustahil untuk membantah statement Kartono Mohammad (Kompas 26/5/2009) bahwa, “Jika dikatakan pelayanan kesehatan di Indonesia liberal, pasti muncul penyanggahan dari para penyedia layanan kesehatan dan departemen kesehatan. Namun, dalam kenyataan, pelayanan kesehatan kita memang amat liberal, bahkan lebih liberal dibandingkan pelayanan di AS yang dikatakan biang liberalisme.” Lagi pula, mengapa kita selalu menengok ke negeri Paman Sam? Padahal, inspirasi dan pengalaman juga bisa kita timba dari Amerika Latin, misalnya, yang notabene bukan negara yang “kaya-kaya amat” seperti Amerika Serikat.


Dari hari ke hari, kita semakin diyakinkan bahwa neoliberalisme sudah sedemikian lekat dalam segala sisi kehidupan kita, termasuk kesehatan. Tetapi, pada kenyataannya, sekurangnya akhir-akhir ini, kata “neoliberalisme” itu sendiri lebih sering dijadikan komoditas politik ketimbang dipahami secara ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Ketiga capres-cawapres yang tengah bersaing, merasa ini isu 'seksi' untuk menghantam rival. Isu ini dianggap lebih 'seksi' ketimbang isu-isu pelanggaran Hak Asasi Manusia seperti kasus Munir, penculikan mahasiswa, Lumpur Sidoarjo, dan sebagainya. Saya pernah bertanya kepada seorang wartawan, kenapa isu neoliberal ini kerap dikedepankan ketimbang isu-isu HAM. Melalui pesan singkat, teman saya yang bekerja sebagai wartawan sebuah media online, mengaku kesulitan untuk menggali isu tersebut karena parpol pendukung koalisi salah satu pasangan capres-cawapres kerap mengelak, saat ditanya soal keberlanjutan Pansus Orang Hilang di DPR.

Tak banyak gunanya bagi kita untuk terus-menerus mendengarkan perdebatan, mengenai “capres A menganut paham neoliberalisme”, atau “cawapres B adalah antek asing penganut neoliberalisme”. Semua ungkapan itu, meski tidak selalu salah, tetap saja tak ubahnya pepesan kosong. Semua jargon itu juga tidak lahir dari sebuah pemahaman yang komprehensif. Saya juga tidak berpretensi untuk membahas soal neoliberalisme secara ontologis, epistemologis, dan aksiologis lewat tulisan ini.

Belajar dari Kuba
Kiranya isu neoliberalisme dalam dunia kesehatan relevan untuk kita singgung, sehubungan dengan kasus Prita versus Rumah Sakit Omni Internasional. Tetapi, di sini kita tidak akan membahas soal teori A atau teori B. Di sini kita berbicara perihal hak warga negara yang diabaikan oleh pemerintah yang tidak bisa menjadi “wasit yang tegas” dalam mengatur bidang kesehatan di negeri ini. Pemerintah lebih memilih untuk melakukan komersialisasi di banyak sektor, termasuk kesehatan.

Di Kuba, sebuah negeri mungil di selatan Amerika Serikat yang tidak lebih luas dari Pulau Jawa, kesehatan sudah menjadi perhatian sejak Fidel Castro menggulingkan rezim Fulgencio Batista setengah abad lalu. Kesehatan, selain pendidikan, menjadi sektor yang diberi prioritas tertinggi sepanjang pemerintahan Fidel Castro, bahkan hingga saat ini
Saking majunya pendidikan kedokteran di Kuba, puluhan negara di dunia seperti Indonesia dan Timor Leste mengirimkan mahasiswanya untuk belajar di sejumlah perguruan tinggi di sana. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, hingga negara-negara dunia ketiga dan miskin di Amerika Latin, Afrika, dan Asia mengirimkan ribuan mahasiswa mereka ke Kuba.
Sektor kesehatan mendapat perhatian khusus dari pemerintah Kuba, tidak dengan jargon-jargon para petingginya. Sejumlah langkah konkrit telah mereka rintis perlahan namun pasti, sejak gerakan revolusioner Fidel Castro bersama 82 orang tentara -termasuk sang dokter pejuang, Ernesto “El Che” Guevarra- di tahun 1959. Negeri itu tidak hanya mendidik ribuan mahasiswa kedokteran dari berbagai negara. Kuba juga mengirimkan ribuan dokternya untuk terjun ke sejumlah negara di dunia yang dilanda peperangan dan atau bencana alam. Kita juga tentu masih ingat ketika Juni hingga Agustus 2006 pemerintah Kuba mengirimkan satu tim berkekuatan 135 dokter dan paramedis, untuk membantu korban gempa di Jateng dan DIY.

Dalam blognya, dr.Samsuridjal Djauzi mengatakan, salah satu faktor yang diperhitungkan dalam peningkatan taraf kesehatan warga Kuba adalah layanan kesehatan keluarga. Pemerintah Kuba menyediakan layanan itu di pemukiman penduduk di rumah susun di kampung-kampung. Dokter dan perawat ditugaskan untuk melayani tetangga kanan dan kiri mereka, karena rumah mereka berada tidak jauh dari poliklinik keluarga di kampung-kampung itu. Para dokter dan perawat itu bahkan secara rutin mengunjungi rumah atau kamar rumah susun yang dihuni warga, untuk mengawasi kebersihan lingkungannya. Dan, satu hal yang harus dicatat: semua itu didapatkan secara gratis!

Tidak seperti puskesmas di Indonesia, puskesmas (health centre) di Kuba dijadikan rujukan layanan klinik dokter keluarga. Semua puskesmas di sana menyediakan layanan rawat inap yang lengkap, rawat jalan yang didukung dokter-dokter spesialis, dan menyediakan layanan gawat darurat dan rehabilitasi medis untuk masyarakat setempat. Saya membayangkan, pasti tidak pernah ada warga Kuba yang keburu meninggal dunia dalam perjalanan karena terjebak kemacetan seperti di Jakarta. Angka kematian bayi di Kuba pun sangat rendah: 5,8 bayi per 1000 kelahiran (bandingkan dengan Indonesia yang masih 30 bayi per 1000 kelahiran). Angka kematian ibu 31 ibu per 100.000 kelahiran (Indonesia 300/100.000). Angka kematian bayi di Kuba juga lebih baik dari negara yang sudah maju seperti Amerika Serikat. Dan, yang juga perlu dicatat, setiap tahun ribuan pasien datang ke Kuba untuk mendapat layanan kesehatan berkualitas. Jumlah pasien yang cukup besar datang dari Venezuela, karena Kuba dan negeri Hugo Chaves itu menjalin kerjasama pertukaran minyak dengan layanan kesehatan. Artinya, layanan kesehatan di Kuba juga bisa menjadi sumber pemasukan devisa, ketika embargo ekonomi yang mengisolir Kuba belum dicabut oleh Amerika Serikat.


Komoditas Politik Praktis

Tentu saja, tidak bisa dinafikkan bahwa kesehatan bisa, sudah dan akan terus menjadi isu politik praktis. Di setiap pemilu, pilkada, dan bahkan pemilihan presiden ada saja kandidat yang menjadikan kesehatan sebagai isu kampanye. Tetapi, ternyata kita lebih sering -untuk tidak mengatakan selalu- 'gigit jari' tatkala sang kandidat sudah menduduki empuknya kursi kekuasaan. Kali ini, kita juga melihat ketiga capres dan cawapres memanfaatkan momen ini untuk membela Prita Mulyasari, yang tengah berkonfrontasi dengan RS Omni Internasional. Bahkan, ada wacana untuk meninjau kembali keberadaan rumah sakit mewah itu. Banyak pihak mendadak menjadi pahlawan kesiangan dalam kasus ini. Tetapi, apalah artinya menyelesaikan satu kasus seperti ini, kalau perbaikan sistem kesehatan tidak pernah dilakukan? Akan ada korban-korban lain seperti Prita yang akan dikriminalisasi. Bahkan, pasti sudah banyak dari kita yang mengalami kasus serupa, namun tidak mencuat ke permukaan.

Sebagai penutup, kita mungkin perlu mempertanyakan dua hal. Pertama, apakah kesehatan lebih menjadi beban pemerintah? Bisakah hal ini dipandang sebagai tanggungjawab pemerintah pada warga negaranya? Kedua, di musim kampanye presiden sekarang ini semua hal bisa dikomodifikasi untuk menarik simpati publik. Namun, apakah presiden RI periode 2009-2014 bisa mewujudkan kesehatan murah dan berkualitas untuk rakyatnya? Kita tunggu.



Photo caption:
Anggota tim kesehatan Kuba yang melayani masyarakat di Kecamatan Prambanan, Klaten, Jawa Tengah, ketika gempa mengguncang Jateng-DIY Juni-Agustus 2006.

Photo by Kartini Hardjosuwignjo, yang saat itu juga menjadi salah satu relawan penerjemah di posko kesehatan Prambanan.

28 May 2009

Kesetiaan Pada Ideologi

Jutaan pasang mata di dunia menyaksikan, dinihari tadi waktu Indonesia, bagaimana anak-anak Catalan, asuhan pelatih muda Barcelona nan rendah hati Josep Guardiola, menaklukan pasukan Opa Alex Ferguson. Barcelona bukan hanya mengagumkan secara teknis permainan, tim ini juga bermain dengan hati. Mereka tampak menikmati setiap detik permainan, dengan emosi stabil meski Carles Puyol dan kawan-kawan kerap menerima kekasaran para pemain MU seperti Cristian Ronaldo. Barcelona membuktikan, mereka tidak ‘berselingkuh’ dari ‘ideologi’ sepakbola menyerang. Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari sini?


Masih berat rasanya mata saya untuk sedikit dibuka. Selepas menuntaskan perkerjaan di kantor di daerah Kebayoran Baru, menemui seorang teman di daerah Menteng Raya dan Kayumanis, saya beranjak pergi ke rumah seorang sahabat, Daniel Awigra, di daerah Bangka, Jakarta Selatan. Sekitar jam dua dinihari Awi membangunkan saya untuk pergi mencari kafe dan sejenisnya untuk menonton final Liga Champions, yang mempertemukan Barcelona dan Manchester United. Sebenarnya saya bukan penggemar Barcelona, apalagi Manchester United. Tetapi, berhubung tim jagoan saya AC Milan tak berpartisipasi di Liga Champions, melainkan di UEFA Cup, saya akhirnya menjagokan Barcelona. Saya berpikir, tak ada ruginya saya menonton Barcelona bermain. Tim ini mengingatkan saya pada total voetball a la Belanda yang begitu indah dipandang.

Akhirnya, saya dan Awi berangkat menuju Kemang Food Festival (KFF). Kurang dari 10 menit kami tiba di lokasi, dan mendapati ratusan orang sudah memadati kawasan itu. Sejumlah kafe dan restoran di kawasan itu tampak sudah dipenuhi para penggila bola. Suara puluhan televisi di sana terdengar cukup memekakkan telinga. Setelah memarkir motor tak jauh dari KFF, kami pun segera membeli tiket seharga Rp.35 ribu per orang. Tiket itu sudah termasuk sekaleng Draft Beer.


Saat kami tiba, ratusan orang sudah sudah memadati area KFF. Satu layar besar dipasang di tengah, mungkin ukurannya sekitar 3x4 meter. Ada juga sekitar empat hingga lima televisi layar datar di sana. Sudah sekitar 10 menit pertandingan berjalan saat saya dan Awi tiba. Terpampang di layar: “Shot on goal 5:0 untuk MU”. Saya sedikit terkejut, mengetahui betapa Barcelona ‘tersiksa’. Tetapi, akhirnya Samuel Eto’o membungkam suporter MU dengan golnya di menit kesepuluh. Sontak, saya dan Awi yang (karena kursi telah penuh) tadinya menyandarkan pantat di lantai, segera berdiri, bersorak, berteriak dan melompat-lompat bersama barangkali dua ratusan suporter Barcelona di KFF itu. Tanpa sadar, kaleng Draft Beer yang ada di tangan kanan saya mengeluarkan buihnya, karena terguncang-guncang. Buih itu pun mengalir ke sela-sela telapak kanan saya.

Seperti kita bisa saksikan dinihari tadi, sejak gol pertama tercipta praktis permainan menjadi milik Barcelona. Lini tengah Barcelona yang digalang Sergio Busquet, Andres Iniesta dan Xavi Hernandez tampak begitu dominan mengatur tempo pertandingan. Permainan tic-tac mereka tak bisa diimbangi para punggawa MU, yang setelah kebobolan gol pertama seolah kehilangan karakter juara. Mereka kerap kehilangan bola, grogi, kalah berduel satu lawan satu. Apalagi setelah Lionel Messi memperbesar keunggulan Barcelona di babak kedua.

Di tangan Guardiola, satu yang harus digarisbawahi dari apa yang diperagakan Barcelona sepanjang musim ini, baik di Liga Spanyol, Piala Raja dan Liga Champions adalah filosofi sepakbola menyerang yang mereka anut secara fanatik. Menurut Guardiola, sukses yang ia rengkuh musim ini adalah buah dari sebuah keberanian untuk terus menyerang, tak peduli apa pun konsekuensinya. Di tangannya, Barcelona tetap menerapkan gaya dan permainan menyerang, meski krisis pemain tengah melanda. "Jika Anda mengambil bola dan menyerang disertai keberanian, maka akan banyak mendapat peluang mencetak gol. Kami tak mau jadi pengecut. Itu tak pernah kami lakukan dalam pertandingan. Tak ada cara lain. Akan lebih berbahaya jika kita tak berani mengambil risiko," kata Guardiola.

Buat saya, pilihan yang diambil Guardiola menunjukkan mentalitas tak kenal menyerah yang sudah menjadi tradisi Barcelona. Konon, sejak zaman Rinus Michles, Johan Cruyff, Frank Rijkaard, hingga Guardiola sebuah doktrin ‘menyerang’. Ada ungkapan yang membandingkan Barcelona dengan Real Madrid: “Kalau di Madrid, anda cukup menang. Tetapi di Barcelona, orang akan bertanya bagaimana anda menang, dan berapa gol yang anda ciptakan.” Bahkan ketika sejumlah pemain pilar Barcelona tidak bisa tampil di final karena cedera dan hukuman kartu, ideologi menyerang sama sekali tak ditinggalkan.

Lesson learned
Berangkat dari sini, mungkin kita bisa menarik sejumlah pelajaran berharga. Pertama, kita sama sekali tidak punya alasan untuk bermalas-malasan dalam menjalani apa pun. Totalitas, singkatnya. Bagaimana pun, hidup harus tetap dijalani dengan “lebih hidup”, tak peduli apa cobaan yang datang menghantam. Memang, hidup sebagai warga Indonesia yang penuh dengan hiruk-pikuk yang kerap menyiksa ini tak pernah mudah. Sama sekali tidak mudah.

Contoh di depan mata, bisa saya angkat di sini. Silang sengkarut tentang isu neoliberalisme sedang jadi dagangan semua capres-cawapres: SBY-Boediono, JK-Wiranto, dan Mega-Prabowo. Sekurangnya tiga pekan terakhir ini, tim sukses ketiga pasangan itu berlomba-lomba untuk menuduh pesaing mereka berhaluan neoliberalisme, sembari mengklaim bahwa pasangan merekalah yang menganut faham ekonomi kerakyatan. Sebuah pertanyaan menyeruak, mengapa isu-isu lain relatif tenggelam di balik gencarnya isu “ekonomi kerakatan versus ekonomi neoliberal” di media massa? Kita patut bertanya-tanya, mengapa isu-isu lain seperti lingkungan, hak asasi manusia, budaya, dan sejumlah isu penting krusial lainnya nyaris tak terdengar. Sejumlah pakar ekonomi jelas-jelas berpandangan, para capres dan cawapres ini sama sekali tidak memahami apa itu neoliberalisme dan ekonomi kerakyatan.

Mengenai isu lingkungan, sejak 27 Mei 2006 tahun masyarakat Sidoarjo kehilangan rumah, perkebunan, dan semua yang mereka miliki karena daerah itu terendam lumpur akibat pengeboran PT.Minarak Lapindo Jaya. Pelanggaran lingkungan seperti illegal logging juga masih bisa kita simak di media massa. Kasus pembunuhan almarhum Munir juga masih penuh misteri, setelah Muchdi Pr dibebaskan dari segala tuntutan akhir tahun lalu.

Terakhir, tetapi mungkin yang cukup mendasar, adalah isu mengenai masih adanya sekelompok partai politik yang masih mengedepankan dan atau memperjuangkan politik aliran. Isu ini juga yang cukup menyita perhatian saya selama ini. Diterbitkannya ratusan peraturan daerah bernuansa syariah di negeri ini, adalah indikasi kuat bahwa politik aliran masih dan entah sampai kapan akan menguat.
Kita juga mengetahui, begitu kerapnya sebuah isu diseret ke masalah agama. Gerah dengan isu ini, seorang tokoh nasional (saya lupa namanya) pernah berkata, “Ketika orang lain di luar negeri sudah mengirim orang ke bulan, kita masih meributkan diri kita dengan soal ideologi.” Artinya, kalau kita masih terus disibukkan dengan persoalan-persoalan fundamentalisme, kapan kita sebagai bangsa bisa membangun dengan ‘tenang’ ? Apakah ini sebuah utopia? Entahlah, biarkah waktu yang menjawabnya....

24 February 2009

Somos parte de la Solución y también Parte del problema del Tráfico

El tráfico en las calles puede ser un problema clásico de Yakarta, como otras ciudades grandes en el mundo. Ya tenemos unos gobernadores hasta ahora, pero no se ve ninguna solución general para la ciudad.

Para resolver el problema del tráfico en Yakarta, se necesita la conciencia no solo de los funcionarios público de la ciudad pero también todos los miembros de la ciudad. Cada ciudadano en la sociedad tiene su responsabilidad. El gobierno juega su parte, y cada ciudadano jugar su parte en su entorno. Porque se dice que somos parte de la solución y también parte del problema.

Por lo tanto, para resolver el problema del tráfico en la ciudad muy grande y ocupado como Yakarta, el gobierno tiene que desarrollar los facilidades transportación como autobuses, paradas del autobuses, pavimentos para peatones, etc que pueda se usa por los ciudadanos.

Aparte de todo esto, la disciplina de cada ciudadano se necesita también si una sociedad o un país quería ganar cómodo en las calles. Si no hay disciplina, los facilidades que se provisto sea inútil.

Tenemos unos ejemplos que puede explicar muchas sobre desobediencia de los ciudadanos. Muchas personas que usa moto cada mañana, siempre parar sus motos delante de la línea blanco en las lámparas del tráfico. Muchas personas también no se lleva timón aunque es muy importante para la salud de nosotros.

Fransiskus Pascaries